Aku Di Hamili Abg Tetangga

Cerita Dewasa |Cerita Dewasa Seru: Dihamili ABG Tetangga | Namaku Lani, seorang ibu rumah tangga, umurku 36 tahun. Suamiku namanya Prasojo, umur 44 tahun, seorang pegawai di pemerintahan di Bantul. Aku senang dengan suami dan kedua anakku. Suamiku seorang laki-laki yang gagah dan bertubuh besar, biasalah dulu beliau seorang tentara. Penampilanku walaupun sudah terbilang berumur tapi sangat terawat, lantaran saya rajin ke salon dan fitnes dan yoga. Kata orang, saya mirip mirip Sandy Harun. Cerita Dewasa Seru: Aku Dihamili ABG Tetangga | Tubuhku masih sanggup dikatakan langsing, walaupun payudaraku termasuk besar, lantaran sudah punya anak dua. Anakku yang pertama berjulukan Rika, seorang gadis remaja yang beranjak dewasa. Dia sudah mau lulus SMA, yang kedua Sangga,masih sekolah Sekolah Menengan Atas kelas 1. Rika walaupun tinggal serumah dengan kami juga lebih sering menghabiskan waktunya di tempat kosnya di tempat Gejayan. Kalau si Sangga, lantaran cowok remaja, lebih sering berkumpul dengan teman-temannya ataupun sibuk berkegiatan di sekolahnya. Semenjak tidak lagi sibuk mengurusi anak-anak, kehidupan seksku semakin bau tanah justru semakin menjadi-jadi. Apalagi suamiku selain bertubuh kekar, juga orang yang sangat terbuka soal urusan seks. Akhir-akhir ini, sehabis belum dewasa besar, kami berlangganan internet.
Cerita Dewasa Seru Terbaru 2014 | Aku dan suamiku sering browsing masalah-masalah seks, baik video, cerita, ataupun foto-foto. Segala macam gaya berafiliasi tubuh kami lakukan. Kami bercinta sangat sering, minimal seminggu tiga kali. Entah mengapa, sejak kami sering berseluncur di internet, gairah seksku semakin menggebu. Sebagai tentara, suami sering tidak ada di rumah, tapi jika pas di rumah, kami langsung main kuda-kudaan, hehehe. Sudah usang kami tetapkan untuk tidak punya anak lagi. Tapi saya sangat takut untuk pasang spiral. Dulu saya pernah mencoba suntik dan pil KB. Tapi kini kami lebih sering pakai kondom, atau lebih seringnya suamiku ‘keluar’ di luar. Biasanya di mukaku, di payudara, atau bahkan di dalam mulutku. Pokoknya kami sangat hati-hati biar Sangga tidak punya adik lagi. Dan damai saja, suamiku sangat jago mengendalikan muncratannya, jadi saya tidak khawatir muncrat di dalam rahimku. Walaupun sudah dua kali melahirkan tubuhku termasuk sintal dan seksi. Payudaraku masih cukup kencang lantaran terawat. Tapi yang jelas, bodiku masih semlohai, lantaran saya masih punya pinggang. Aku sadar, jika tubuhku masih tetap menciptakan para laki-laki menelan air liurnya. Apalagi saya termasuk ibu-ibu yang suka pakai baju yang agak ketat. Sudah kebiasaan sih dari remaja. Suamiku termasuk seorang pejabat yang baik. Dia ramah pada setiap orang. Di kampung beliau termasuk pegawanegeri yang disukai oleh para tetangga. Apalagi suamiku juga banyak bergaul dengan belum dewasa muda kampung. Kalau pas di rumah, suamiku sering mengajak belum dewasa muda untuk bermain dan bercakap-cakap di teras rumah. Semenjak setahun yang lalu, di halaman depan rumah kami di bangun semacam gazebo untuk nongkrong para tetangga. Setelah membeli televisi baru, televisi usang kami, ditaruh di gazebo itu, sehingga para tetangga betah nongkrong di situ. Yang jelas, banyak bapak-bapak yang curi-curi pandang ke tubuhku jika pas saya bersih-bersih halaman atau ikutan nimbrung sebentar di tempat itu. Maklumlah, jika istilah kerennya, saya ini termasuk MILF, hehehe. Selain bapak-bapak, ada juga perjaka dan remaja yang sering bermain di rumah. Salah satunya lantaran gazebo itu juga dipergunakan sebagai perpustakaan untuk warga. Salah satu anak kampung yang paling sering main ke rumah ialah Indun, yang masih Sekolah Menengah Pertama kelas 2. Dia anak tetangga kami yang berjarak 3 rumah dari tempat kami. Anaknya baik dan ringan tangan. Sama suamiku beliau sangat akrab, bahkan sering membantu suamiku jika lagi bersih-bersih rumah, atau membelikan kami sesuatu di warung. Sejak masih anak-anak, Indun dekat dengan belum dewasa kami, mereka sering main karambol bareng di gazebo kami. Bahkan adakala Indun menginap di situ, lantaran jika malam, gazebo itu diberi epilog oleh suamiku, sehingga tidak terasa dingin. Pada suatu malam, saya dan suamiku sedang bermesraan di kamar kami. Semenjak sering melihat adegan blow job di internet, saya jadi kecanduan mengulum penis suamiku. Apalagi penis suamiku ialah penis yang paling gagah sedunia bagiku. Tidak kalah dengan penis-penis yang biasa kulihat di BF. Padahal dulu waktu masih pengantin muda saya selalu menolak jika diajak blowjob. Entah kenapa kini di usia yang sudah pertengahan kepala tiga ini saya justru tergila-gila mengulum batang suamiku. Bahkan saya sanggup orgasme hanya dengan mengulum batang besar itu. Tiap nonton film blue pun mulutku serasa gatal. Kalau pas tidak ada suamiku, saya selalu membawa pisang jika nonton film-film gituan. Biasalah, sambil nonton, sambil makan pisang, hehehe. Malam itu pun saya dengan rakus menjilati penis suamiku. Bagi mas Prasojo, mulutku ialah vagina keduanya. Dengan berseloroh, beliau pernah bilang jika sebenarnya beliau sama saja sudah poligami, lantaran beliau punya dua lubang yang sama-sama hotnya untuk dimasuki. Ucapan itu ada benarnya, lantaran mulutku sudah hampir mirip vagina, baik dalam mengulum maupun dalam menyedot. Karena kami menghindari kehamilan, bahkan sebagian besar sperma suamiku masuk ke dalam mulutku. Malam itu kami lupa jika Indun tidur di gazebo kami. Seperti biasa, saya teriak-teriak pada waktu penis suamiku mengaduk-aduk vaginaku. Suamiku sangat kuat. Malam itu saya sudah berkali-kali orgasme, sementara suamiku masih segar bugar dan menggenjotku terus menerus. Tiba-tiba kami tersentak, ketika kami mendengar bunyi berisik di jendela. Segera suami mencabut batangnya dan membuka jendela. Di luar nampak Indun dengan wajah kaget dan gemetaran tertangkap berair mengintip kami. Suamiku nampak murka dan melongokkan badannya keluar jendela. Indun yang kaget dan ketakutan meloncat ke belakang. Saking kagetnya, kakinya terantuk selokan kecil di teras rumah. Indun terjerembab dan terjungkal ke belakang. Suamiku tak jadi marah, tapi beliau kesal juga. 
 “Walah, Ndun! Kamu itu ngapain?” bentaknya. Indun ketakutan setengah mati. Dia sangat menghormati kami. Suamiku yang tadinya kesal pun tak jadi memarahinya. Indun gelagepan. Wajahnya meringis menahan sakit, tampaknya pantatnya terantuk sesuatu di halaman. Aku tadinya juga sangat aib diintip anak anabawang itu. Tapi saya juga mencintai Indun, bahkan mirip anakku sendiri. Aku juga sadar, sebenarnya kami yang salah lantaran bercinta dengan bunyi segaduh itu. Aku segera meraih dasterku dan ikut menghampiri Indun. “Aduh, mas. Kasian dia, gak usah dimarahin. Kamu sakit Ndun?” Aku mendekati Indun dan memegang tangannya. Wajah Indun sangat memelas, antara takut, sakit, dan malu. “Sudah gak papa. Kamu sakit, Ndun?” tanyaku. “Sini coba kau berdiri, sanggup gak?” Karena gemeteran, Indun gagal mencoba berdiri, beliau malah terjerembab lagi. Secara reflek, saya memegang punggungnya, sehingga kami berdua menjadi berpelukan. Dadaku menyentuh lengannya, tentu saja beliau sanggup mencicipi lembutnya gundukan besar dadaku, lantaran saya hanya menggunakan daster tipis yang sambungan, sementara di dalamnya saya tidak menggunakan apa-apa. “Aduh sorri, Ndun” pekikku. Tiba-tiba suamiku tertawa. Agak kesal saya melirik suamiku, kenapa beliau menertawai kami. “Aduh Mas ini. Ada anak jatuh kok malah ketawa” “Hahaha.. lihat itu, Dik. Si Indun ternyata udah gede, hahaha…” kata suamiku sambil menunjuk selangkangan Indun. Weitss… ternyata mungkin tadi Indun mengintip kami sambil mengocok, lantaran di atas celananya yang agak melorot, batang kecilnya mencuat ke atas. Penis kecil itu terlihat sangat tegang dan berwarna kemerahan. Malu juga saya melihat adegan itu, apalagi si Indun. Dia tambah gelagepan. “Hussh Mas. Kasihan dia, udah aib tuh”, kataku yang justru menambah aib si Indun. “Kamu suka yang lihat barusan, Ndun? Wah, hayooo… kau nafsu ya lihat istriku?” goda suamiku. Suamiku malah ketawa-ketawa sambil berdiri di belakangku. Tentu saja wajah Indun tambah memerah, walaupun tetap saja penis kecilnya tegak berdiri. Kesal juga saya sama suamiku. Udah gak menolonng malah mentertawakan anak anabawang itu. “Huh, Mas mbok jangan godain dia, mbok tolongin nih, angkat dia” “Lha beliau khan sudah berdiri, ya tho Ndun? Wakakak” kata suamiku. Aku sungguh tidak tega lihat muka anak itu. Merah padam lantaran malu. Aku kemudian berdiri mengangkang di depan anak itu, dan memegang dua tangannya untuk menariknya berdiri. Berat juga badannya. Kutarik kuat-kuat, alhasil beliau terangkat. Tapi gres setengah jalan, mungkin lantaran beliau masih gemetar dan saya juga kurang kuat, tiba-tiba justru saya yang jatuh menimpanya. Ohhh… saya berusaha untuk menahan badanku biar tidak menindih anak itu, tapi tanganku malah menekan dada Indun dan membuatnya jatuh terlentang sekali lagi. Bahkan kali ini, saya ikut jatuh terduduk di pangkuannya. Dan…. ohhhh. Sleppp…. terasa sesuatu menggesek bibir vaginaku. “Waa…!” saya tersentak dan sesaat resah apa yang terjadi, begitu juga dengan Indun, wajahnya nampak sangat ketakutan. “Aduuuhhh!” teriakku. Sementara suamiku justru tertawa melihat kami jatuh lagi. Tiba-tiba saya sadar benda apa yang bergesekan dengan vaginaku, penis kecil si Indun! Penis itu menggesek wilayah sensitifku disamping lantaran vaginaku masih berair oleh persetubuhanku dengan suamiku, juga lantaran saya tidak mengenakan apa-apa di balik daster pendekku. “Ohhhhh…. apa yang terjadi?” Pikirku. Mungkin juga lantaran penis Indun yang masih imut dan lobang vaginaku yang biasa digagahi penis besar suami, jadinya sangat praktis diselipin batang kecil itu. “Ohhh.. Masss???” desisku pada suamiku. Kali ini suamiku berhenti tertawa dan agak kaget. “Napa, say?” tanyanya heran. Kami bertiga sama-sama kaget, suamiku nampaknya juga menyadari apa yang terjadi. Dia mendekati kami, dan melihat bahwa kelamin kami saling bersentuhan. Beberapa ketika kami bertiga terdiam resah dengan apa yang terjadi. Aku mencicipi penis Indun berdenyut-denyut. Lobangku juga segera meresponnya, mengingat rasa tanggung sehabis persetubuhanku dengan suamiku yang tertunda. Aku mencoba bangkit, tapi entah kenapa, kakiku jadi gemetar dan kembali selangkanganku menekan tubuh si Indun. Tentu saja penisnya melesak ke lobangku. Ohhh… saya mencicipi sensasi yang biasa kutemui kala sedang bersetubuh. “Ohhh…” desisku. Indun terpekik tertahan. Wajahnya memerah. Tapi saya mencicipi pantatnya sedikit dinaikkan merespon selangkanganku. Slepppp… kembali penis itu menusuk dalam lobangku. Yang mengherankan suamiku membisu saja, entah lantaran beliau kaget atau apa. Hanya saya lihat wajahnya ikut memerah dan sedikit membuka mulutnya, mungkin resah juga untuk bereaksi dengan situasi asing ini. Aku membisu saja menahan napas sambil menguatkan tanganku yang menahan tubuhku. Tanganku berada di sisi kanan dan kiri si Indun. Sementara Indun dengan wajah merah padam menatap mukaku dengan panik. Agak mangkel juga saya lihat mukanya, panik, takut, tapi kok penisnya tetap tegang di dalam vaginaku. Dasar anak mesum, pikirku. Tapi asing juga, saya justru mencicipi sensasi yang asing dengan adanya penis anak yang sudah kuanggap saudaraku sendiri itu dalam vaginaku. Agak kasihan juga lihat mukanya, dan juga muncul rasa sayang. Pikirku, kasihan juga anak ini, beliau sangat berangasan mengintip kami, dan juga apalagi yang dikawatirkan, lantaran penisnya sudah terlanjur dalam vaginaku. Aku melirik suamiku sambil tetap duduk di pangkuan si Indun. Suamiku tetap membisu saja. Agak kesal juga saya lihat respon mas Prasojo. Tiba-tiba pikiran pembangkang menyelimuti. Kenapa tidak kuteruskan saja persetubuhanku dengan Indun, toh penisnya sudah menancap di vaginaku. Apalagi jika lihat muka hornynya yang sudah di ubun-ubun, kasihan lihat Indun jika tidak diteruskan. Dengan nekat saya kembali menekan pantatku ke depan. Vaginaku meremas penis Indun di dalam. Merasakan remasan itu, Indun terpekik kaget. Suamiku mendengus kaget juga. “Dik, aaa…paaaa yang kaulakukan?” kata suamiku gagap. Aku membisu saja, hanya saja saya mulai menggoyang pantatku maju mundur. Suamiku termangu sekarang. Wajahnya mendekat melihat mukaku setengah tak percaya. Indun tidak berani lihat suamiku. Dia menatap wajahku keheranan dan penuh nafsu. “Mas… saya teruskan saja ya, kasihan si Indun. Apalagi khan sudah terlanjur masuk, toh sama saja…” bisikku berani ke suamiku. Aku tak sanggup lagi mengira perasaan suamiku. Kecelakaan ini benar-benar di luar asumsi kami semua. Tapi suamiku memegang pundakku, yang kupikir mengijinkan kejadian ini. Entah apa yang ada di pikiranku, saya tiba-tiba sangat ingin merampungkan nafsu si Indun. Si Indun mengerang-erang sambil terbaring di rerumputan halaman rumah kami. Kembali saya memaju-mundurkan pantatku sambil meremas-remas penis kecil itu di dalam lobangku. Remasanku selalu bikin suamiku tak tahan, lantaran saya rajin ikut senam. Apalagi ini si Indun, anak anabawang yang tidak berpengalaman. Tiba-tiba, lantaran sensasi yang asing ini, saya mencicipi orgasme di dalam vaginaku. Jarang saya orgasme secepat itu. Aku merintih dan mengerang sambil memegang erat lengan suamiku. Banjir mengalir dalam lobangku. Otomatis remasan dalam vaginaku menguat, dan penis kecil si Indun dijepit dengan luar biasa. Indun meringis dan mengerang. Pantatnya melengkung naik, dann…. croottttttttt……….. Cairan panas itu membanjiri rahimku. Aku mirip hilang kendali, semua tiba-tiba gelap dan saya diserbu oleh topan kenikmatan… “Ohhhhhhhhhh…” Aku kemudian terkulai sambil menunduk menahan tubuhku dengan kedua tanganku. Nafasku terengah-engah tidak karuan. Sejenak saya membisu tak tahu harus bagaimana. Aku dan suamiku saling berpandangan. “Dik… Indun gak pakai kondom ..?” suamiku terbata-bata. Kami sama-sama kaget menyadari bahwa percintaan itu tanpa pengaman sama sekali, dan saya telah mendapatkan banyak sekali sperma dalam rahimku, sperma si anak ingusan. Ohhh… tiba-tiba saya sadar akan resiko dari persetubuhan ini. Aku dalam masa subur, dan sangat sanggup jadi saya bakalan mengandung anak dari Indun, bocah Sekolah Menengah Pertama yang masih ingusan. Pelan-pelan saya berdiri dan mencabut penis Indun dari vaginaku. Penis itu masih setengah berdiri, dan berkilat berair oleh cairan kami berdua. Aku dan suamiku mengehela nafas. Cepat cepat saya memperbaiki dasterku. Dengan gugup, Indun juga menaikkan celananya dan duduk ketakutan di rerumputan. “Maa.. ma’af, Bu..” alhasil keluar juga suaranya. Aku menatap Indun dengan wajah seramah mungkin. Suamiku yang alhasil pegang peranan. “Sudahlah, Ndun. Sana kau pulang, mandi dan cuci-cuci!” perintahnya tegas. “Iya, om. Ma.. maaf ya Om” kata Indun sambil menunduk. Segera beliau meluncur pergi lewat halaman samping. “Masuk!” suamiku melihat ke arahku dengan bunyi agak keras. Gemetar juga saya mendengar suamiku yang biasanya halus dan mesra padaku. Aduuh, apa yang akan terjadi?bKami berdua masuk ke rumah, saya tercekat tidak sanggup menyampaikan apa-apa. Tiba-tiba pikiran-pikiran jelek menderaku, jangan-jangan suamiku tak memaafkanku. Ohhh apa yang sanggup kulakukan. Di dalam kamar tangisanku pecah. Aku tak berani menatap suamiku. Selama ini saya ialah istri yang setia dan senang bersama suamiku, tapi malam ini… tiba-tiba saya merasa sangat kotor dan hina. Agak usang suamiku membiarkanku menangis. Pada alhasil beliau mengelus pundakku. “Sudahlah bu, ini khan kecelakaan.” Hatiku sangat lega. Aku menatap suamiku, dan mencium bibirnya. Tiba-tiba saya menjadi sangat takut kehilangan dia. Kami berpelukan usang sekali. “Tapi mas… jika aku…… hamil gimana?” tanyaku memberanikan diri. “Ah.. mana mungkin, beliau khan masih ingusan. Dan jika pun Dik Idah hamil khan gak papa, si Sangga juga sudah siap jika punya adik lagi”, sanggah suamiku. Jawaban itu sedikit menenangkan hatiku. Akhirnya kami bercinta lagi. Kurasakan suamiku begitu mengebu-gebu mengerjaiku. Apa yang ada di pikirannya, saya tak tahu, padahal beliau barusan saja melihat istrinya disetubuhi anak muda. Sampai-sampai saya kelelehan melayani suamiku. Pada orgasme yang ketiga saya menyerah. “Mas, keluarin di mulutku saja ya… saya tak berpengaruh lagi” bisikku pada orgasme ketigaku ketika kami dalam posisi doggystye. Suamiku mengeluarkan penisnya dan menyorongkannya ke mulutku. Sambil terbaring saya menyedot-nyedot penis besar itu. Sekitar setengah jam kemudian, mulutku penuh dengan sperma suamiku. Dengan penuh kasih sayang, saya menelan semua cairan kental itu. ################### Hari-hari selanjutnya berlalu dengan biasa. Aku dan suamiku tetap dengan kemesraan yang sama. Kami seakan-akan melupakan kejadian malam itu. Hanya saja, Indun belum berani main ke rumah. Agak kangen juga kami dengan anak itu. Sebenarnya rumah kami dekat dengan rumah Indun, tapi saya juga belum berani untuk melihat keadaan anak itu. Hanya saja saya masih sering ketemu ibunya, dan sering iseng-iseng nanya keadaan Indun. Katanya sih beliau baik-baik saja hanya kini lagi sibuk persiapan mau naik kelas 3 SMP. Seminggu sebelum bulan puasa, Indun tiba ke rumah mengantarkan selamatan keluarganya. Wajahnya masih kelihatan malu-malu ketemu aku. Aku sendiri dengan riang menemuinya di depan rumah. “Hai Ndun, kok kau jarang main ke rumah?” tanyaku. “Eh, iya bu. Gak papa kok Bu”, jawabnya sambil tersipu. “Bilang ke mamamu, makasih ya” “Iya bu”, jawab Indun dengan canggung. Dia bahkan tak berani menatap wajahku. Entah kenapa saya merasa kangen sekali sama anak itu. Padahal beliau terperinci masih anak ingusan, dan bukan type-type anak Sekolah Menengah Pertama yang terkenal dan gagah kayak yang jago-jago main basket. Jelas si Indun tidak terlalu gagah, tapi ukuran sedang untuk anak SMP. Hanya badannya memang tinggi. “Ayo masuk dulu. Aku buatin minum ya” ajakku. Indun tampak masih agak aib dan takut untuk masuk rumah kami. Siang itu suamiku masih dinas ke Kulonprogo. Anak-anak juga tidak ada yang di rumah. Kami bercakap-cakap sebentar wacana sekolahnya dan sebagainya. Sekali-kali saya merasa Indun melirik ke badanku. Wah, gak tahu kenapa, saya merasa senang juga diperhatiin sama anak itu badanku. Waktu itu saya mengenakan kaos agak ketat lantaran barusan ikut kelas yoga bersama ibu-ibu Candra Kirana. Tentunya dadaku terlihat sangat menonjol. Akhirnya tidak begitu lama, Indun pamit pulang. Dia kelihatan lega sikapku padanya tidak berubah sehabis kejadian malam itu. Hingga pada bulan selanjutnya saya tiba-tiba gelisah. Sudah hampir lewat dua ahad saya belum tiba bulan. Tentu saja kejadian waktu itu membuatku bertambah panik. Gimana jika benar-benar jadi? Aku belum berani bilang pada Mas Prasojo. Untuk melaksanakan test saja saya sangat takut. Takutnya jika positif. Hingga pada suatu pagi saya melaksanakan test kehamilan di kamar mandi. Dan, deg! Hatiku mirip mau copot. Lembaran kecil itu menyampaikan jika saya positif hamil!!! Oh Tuhan! Aku benar-benar kaget dan tak percaya. Jelas ini bukan anak suamiku. Kami selalu bercinta dengan aman. Dan terperinci sesuai dengan waktu kejadian, ini ialah anak Indun, si anak Sekolah Menengah Pertama yang belum cukup umur. Aku benar-benar bingung. Seharian saya tidak sanggup berkonsentrasi. Pikiranku berkecamuk tidak karuan. Bukan saja lantaran saya tidak siap untuk punya anak lagi, tapi juga bagaimana reaksi suamiku, bahwa saya hamil dari laki-laki lain. Itulah yang paling membuatku bingung. Hari itu saya belum berani untuk memberi tahu suamiku. Dua hari berikutnya, justru suamiku yang mencicipi perbedaan sikapku. “Dik Lani, ada apa? Kok tampaknya kurang sehat?” tanyanya penuh perhatian. Waktu itu kami sedang tidur bedua. Aku tidak sanggup mengeluarkan kata-kata. Yang kulakukan hanya memeluk suamiku erat-erat. Suamiku membalas pelukanku. “Ada apa sayang?” tanyanya. Badan kekarnya memelukku mesra. Aku selalu merasa damai dalam pelukan laki-laki perkasa itu. Aku tidak berani menjawab. Suamiku memegang mukaku, dan menghadapkan ke mukanya. Sepertinya beliau menyadari apa yang terjadi. Sambil menatap mataku, beliau bertanya, “benarkah?” Aku mengangguk pelan sambil menagis, “aku hamil, mas…” Jelas suamiku juga kaget. Dia membisu saja sambil tetap memelukku. Lalu beliau menjawab singkat’ “besok kita ke dokter Merlin”. Aku mengangguk, kemudian kami saling berpelukan hingga pagi tiba. Hari selanjut sore-sore kami berdua menemui dokter Merlin. Setelah dilakukan test, dokter anggun itu memberi selamat pada kami berdua. “Selamat, Pak dan Bu Prasojo. Anda akan mendapatkan anak ketiga”, kata dokter itu riang. Kami mengucapkan terimakasih atas ucapan itu, dan sepanjang jalan pulang tidak berkata sepatah kata pun. Setelah itu, suamiku tidak menyinggung duduk masalah itu, bahkan beliau memberi tahu pada belum dewasa jika mereka akan punya adik baru. Anak-anak ternyata senang juga, lantaran sudah usang tidak ada anak kecil di rumah. Bagi mereka, adik kecil akan menyemarakkan rumah yang kini sudah tidak lagi ada bunyi anak kecilnya. Malamnya, sehabis tahu saya hamil, suamiku justru menyetubuhiku dengan ganas. Aku tidak tahu apakah beliau ingin biar anak itu gugur atau lantaran beliau merasa sangat berangasan padaku. Yang terperinci saya menyambutnya dengan tak kalah bernafsu. Bahkan kami gres tidur menjelang jam 3 dini hari sehabis sepanjang malam kami bergelut di kasur kami. Aku tidak tahu lagi bagaimana wujud mukaku malam itu, lantaran sepanjang malam mulutku disodok-sodok penis suamiku, dan dipenuhi oleh muncratan spermanya yang hingga tiga kali membasahi muka dan mulutku. Aku hampir tidak sanggup bangun pagi harinya, lantaran seluruh tubuhku mirip remuk dikerjain suamiku. Untungnya esok harinya hari libur, jadi saya tidak harus buru-buru menyiapkan sekolah anak-anak. Hari-hari selanjutnya berlalu dengan luar biasa. Suamiku bertambah hot setiap malam. Aku juga selalu merasa horny. Wah, beruntung juga jika semua ibu-ibu ngidamnya penis suami mirip kehamilanku kali ini. Hamil kali ini betul-betul beda dengan kehamilanku sebelumnya, yang biasanya pakai ngidam gak karuan. Hamil kali ini justru saya merasa sangat santai dan berangasan birahi tinggi. Setiap malam vaginaku terasa senut-senut, ada atau tak ada suamiku. Kalau pas ada enak, saya tinggal naik dan goyang-goyang pinggang. Kalau pas gak ada saya yang sering kebingungan, dan mencari-cari di internet film-film porno. Sudah itu niscaya saya mainin pakai pisang, yang jadi langgananku di pasar setiap pagi, hehehe. Yang jadi masalah, ialah perlukah saya memberi tahu si Indun bahwa saya hamil dari benihnya? Aku tidak berani bertanya pada suamiku. Dia mendukung kehamilanku saja sudah sangat membahagiakanku. Aku menjadi senang dengan kehamilan ini. Di luar dugaanku, ternyata kami sekeluarga sudah siap menyambut anggota gres keluarga kami. Itulah hal yang sangat saya syukuri. Pas bulan puasa, tiba-tiba suamiku melaksanakan sesuatu yang mengherankanku. Dia mengajak Indun untuk membantu bersih-bersih rumah kami. Tentu saja saya senang, lantaran suamiku sudah sanggup mendapatkan kejadian waktu itu. Aku senang melihat mereka berdua gotong royong membersihkan halaman dan rumah. Indun dan Mas Prasojo nampak sudah bersikap biasa sebagaimana sebelum kejadian malam itu. Bahkan sesekali Indun kembali menginap di gazebo kami, lantaran kami merasa sepi juga tanpa kehadiran anak-anak. Si Rika semakin sibuk dengan urusan kampusnya, sementara si Sangga hanya pada malam hari saja menyampaikan mukanya di rumah. Semenjak itu, suasana di rumah kami menjadi kembali mirip sediakala. Tetap saja gazebo depan rumah sering ramai dikunjungi orang. Cuma kini Indun tidak pernah lagi menginap di sana. Mungkin lantaran hampir ujian, jadi beliau harus banyak berguru di rumah. Beberapa bulan kemudian, tubuhku mulai berubah. Perutku mulai terlihat membuncit. Kedua payudara membesar. Memang jika hamil, saya selalu mengalami pembengkakan pada kedua payudaraku. Hormonku membuatku selalu bernafsu. Mas Prasojo pun seakan-akan ikut mengalami perubahan hormon. Nafsu seksnya semakin menggebu melihat perubahan di tubuhku. Kalau pas di rumah, setiap malam kami bertempur habis-habisan. Gawatnya, payudaraku yang memang sebelumnya sudah besar menjadi bertambah besar. Semua bra yang kucoba sudah tidak muat lagi, padahal bra yang kupakai ialah ukuran terbesar yang ada di toko. Kata yang jual, saya harus pesan dulu untuk membeli bra yang pas di ukuran dadaku sekarang. Akhirnya saya nekat jika di rumah jarang menggunakan bra. Kecuali jika keluar, itupun saya menjadi tersiksa lantaran pembengkakan payudaraku. Aku menjadi mirip mesin seks. Dadaku besar, dan pantatku membusung. Seolah tak pernah puas dengan bercinta setiap malam. Suamiku mengimbangiku dengan nafsunya yang juga bertambah besar. Indun alhasil tahu juga kehamilanku. Dia sering curi-curi pandang melihat perutku yang mulai membuncit. Aku tidak tahu, apakah beliau sadar, jika anak dalam kandunganku ialah hasil dari perbuatannya. Yang jelas, Indun menjadi sangat perhatian padaku. Setiap sore beliau ke rumah untuk membantu apa saja. Bahkan di malam hari pun beliau masih di rumah sambil sekali-kali meneruskan jadwal mengaji anak-anakku. Pada suatu malam, Mas Prasojo harus pergi dinas ke luar kota. Malam itu kami membiarkan Indun hingga malam di rumah kami, sambil menjaga menjaga rumah. Aku harus ikut pengajian dengan ibu-ibu kampung. Jam setengah 10 malam saya gres pulang. Sampai di rumah, saya lihat Indun masih mengerjakan kiprah sekolahnya di ruang tamu. “Ndun, Sangga sudah pulang?” tanyaku sambil menaruh payung, lantaran malam itu hujan cukup deras. “Belum, Bu” Aku kemudian menelpon anak itu. Ternyata beliau sedang mengerjakan kiprah di rumah temannya. Aku percaya dengan Sangga, lantaran anak itu tidak mirip belum dewasa yang suka hura-hura. Dia tipe anak yang sangat serius dalam belajar. Apalagi sekolahnya ialah sekolah pola di kota kami. Makara kubiarkan saja beliau menginap di rumah temannya itu. Aku kemudian berkata ke Indun, “Kamu nginap sini aja ya, saya takut nih, hujan deres banget dan Mas Prasojo gak pulang malam ini”. Memang saya selalu gak lezat hati jika cuaca jelek tanpa mas Prasojo. Takutnya jika ada angin besar dan lampu mati. Apalagi kami sudah tidak ada lagi duduk masalah dengan kejadian waktu itu. “Iya bu, sekalian saya ngerjain kiprah di sini”, jawab Indun. Aku melepas kerudungku dan duduk di depan tivi di ruang keluarga. Agak malas juga saya ganti daster, dan juga ada si Indun, gak lezat jika beliau nanti keingat kejadian dulu. Sambil masih tetap pakai baju muslim panjang saya menyelonjorkan kakiku di sofa, sementara si Indun masih sibuk mengerjakan kalukulus di ruang tamu. Bajuku baju panjang terusan. Agak gerah juga lantaran baju panjang itu, alhasil saya masuk kamar dan melepas bra yang menyiksa payudara bengkakku. Aku juga melepas cd ku lantaran lembab yang luar biasa di celah vaginaku. Maklum ibu hamil. Kalau kalian lihat saya malam itu mungkin kalian juga bakalan nafsu deh, soalnya walaupun pakai baju panjang, tapi seluruh lekuk tubuhku pada keliatan, lantaran pantat dan payudaraku membesar. Acara tivi gak ada yang menarik. Akhirnya saya ingat untuk membuatkan Indun minuman. Sambil membawa kopi ke ruang tamu saya duduk menemani anak itu. “Wah, makasih , Bu. Kok repot-repot” katanya sungkan. “Gak papa, kok” Aku duduk di depannya sambil tak sengaja mengelus perutku. Indun malu-malu melihat perutku. “Bu, udah berapa bulan ya?” tanyanya kemudian, sambil meletakkan penanya. “Menurutmu berapa bulan? Masak nggak tahu?” tanyaku iseng menggodanya. Tiba-tiba mukanya memerah. Indun kemudian menunduk malu. “Ya nggak tahu bu… Kok saya sanggup tahu darimana?” jawabnya tersipu. Tiba-tiba saya sangat ingin memberi tahunya, kabar gembira yang sewajarnya juga dirasakan oleh bapak kandung dari anak dalam kandunganku. Dengan santai saya menjawab, “Lha bapaknya masak gak tahu umur anaknya?” Indun kaget, gak menyangka saya akan menjawab sejelas itu. Dia terperinci gelagapan. Hehehe. Apa yang kau harap dari seorang anak anabawang yang tiba-tiba akan menjadi bapak. Wajahnya termangu melihatku takut-takut. Dia tidak tahu akan menjawab apa. Aku jadi tambah ingin menggodanya. “Kamu sih, bapak yang gak bertanggung jawab. Sudah menghamili akal-akalan tidak tahu lagi”, kataku sambil melirik menggodanya. Aku mengelus-elus perutku. Geli juga lihat wajah Indun ketika itu. Antara kaget dan resah serta perasaan-perasaan yang tidak dimengertinya. “Aku… eeeee… maaf Bu… saya tidak tahu…” Indun menyeka keringat hambar di dahinya. “Memangnya kau tidak suka anak dalam perutku ini anakmu?” tanyaku. “Eh… saya suka banget Bu.. Aku seneng…” Indun benar-benar kalut. “Ya udah, jika benar-benar seneng, sini kau rasakan gerakannya” kataku manja sambil mengelus perutku. “Boleh Bu? Aku pegang..?” tanyanya kawatir. “Ya, sini, kau rasakan aja. Biar kalian dekat” perutku terlihat sangat membuncit lantaran baju muslim yang kupakai hampir tidak muat menyembunyikan bengkaknya. Indun bergeser dan duduk di sebelahku. Matanya menunduk melihat ke perutku. Takut-takut tangannya menuju ke perutku. Dengan damai kupegang tangan itu dan kudaratkan ke bukit di perutku. Sebenarnya saya berbohong, lantaran umur begitu gerakan bayi belum terasa, tapi Indun mana tahu. Dengan hati-hati beliau meletakkan telapaknya di perutku. “Maaf ya bu”, ijinnya. Aku membiarkan telapaknya melekat ketat di perutku. Dia membisu seakan-akan mencoba mendengar apa yang ada di dalam rahimku. Aku merasa senang sekali lantaran biar bagaimanapun anak anabawang ini ialah bapak dari anak dalam kandunganku. “Kamu suka punya anak?” tanyaku. “Aku suka sekali, Bu, punya anak dari Ibu. Ohh.. Bu. Maafkan saya ya Bu” jawab Indun hampir tak kedengaran. Tangannya gemetar di atas perutku. Indun terlihat sangat kebingungan, tak tahu harus berbuat apa. Aku juga ikut bingung, dengan perasaan campur aduk. Antara bahagia, bingung, geli, dan macam-macam rasa gak jelas. Tiba-tiba dadaku berdebar-debar menatap anak muda itu. Anak itu sendiri masih takut-takut melihat mukaku. Kami berdua tiba-tiba terdiam tanpa tahu harus melaksanakan apa. Tangan Indun terdiam di atas perutku. “Ndun, kau gimana perasaanmu lihat ibu-ibu yang lagi bengkak-bengkak kayak aku?” tanyaku memecah kesunyian. “Saya suka sekali sama Ibu……” jawabnya. “Kenapa?” “Ibu cantik..” jawabnya dengan muka memerah. “Ihh.. anggun dari mana? Aku khan udah bau tanah dan lagian kini badanku kayak gini..” jawabku. Indun mengangkat wajahnya pelan menatapku, malu-malu. “Gak kok, Ibu tetep anggun banget…” jawabnya pelan. Tangannya mulai mengelus-elus perutku. Aku merasa geli, yang tiba-tiba jadi sedikit horny. Apalagi tadi malam Mas Prasojo belum sempat menyetubuhiku. “Kok waktu itu kau tegang ngintip saya sama Mas Prasojo?” tanyaku manja. Mukaku memerah. Aku benar-benar bernafsu. Aneh juga, anak kecil ini pun kini membuatku pengen disetubuhi. Apa yang salah dengan tubuhku? “Aku nafsu lihat tubuh Ibu…” kali ini Indun menatap wajahku. Mukanya merah. Jelas beliau bernafsu. Aku tahu banget muka laki-laki yang nafsu lihat aku. “Kalau sekarang? Masa masih nafsu juga, saya khan sudah membukit kayak gini..” Indun belingsatan. “Sekarang iya..” jawabnya sambil membetulkan celananya. “Idiiih…. Mana coba lihat?” godaku. Indun makin berani. Tangannya gemetar membuka celananya. Dari dalam celananya tersembul keluar sebatang penis jauh lebih kecil dari punya suamiku. Yang jelas, penis itu sudah sangat tegang. “Wah, kok sudah tegang banget. Pengen nengok anakmu ya?” godaku. Indun sudah menurunkan semua celananya. Tapi beliau tidak tahu harus melaksanakan apa. Lucu lihat batang kecil itu tegak menantang. Aku sudah sangat horny. Vaginaku sudah mulai basah. Tak tahu kenapa sanggup senafsu itu dekat dengan anak Sekolah Menengah Pertama ini. Dengan gemes, saya pegang penis Indun. “Mau dimasukin lagi?” tanyaku gemetar. “Iya bu.. Mau banget” Tanpa menunggu lagi saya menaikkan baju panjangku dan mengangkangkan kakiku. Segera vaginaku terpampang terperinci di depan Indun. Rambut hitam vaginaku serasa sangat kontras dengan kulit putihku. Segera kubimbing penis anak itu ke dalam lobang vaginaku. Indun mengerang pelan, matanya terbeliak melihat penisnya pelan-pelan masuk ditelan vaginaku. “Ohhhh…… Buuu…..” desisnya. Bless, segera penis itu masuk seluruhnya dalam lobang vaginaku. Aku sendiri mencicipi kenikmatan yang aneh. Entah kenapa, saya sangat ingin mengisi lobangku dengan batang itu. “Diemin dulu di dalam sebentar, biar kau gak cepat keluar”, perintahku. “Iiiiiyaaa, Bu..” erangnya. Indun mendongakkan kepalanya menahan kenikmatan yang luar biasa baginya. Sengaja pelan-pelan kuremas penis itu dengan vaginaku, sambil kulihat reaksinya. “Ohhh…” Indun mengerang sambil mendongak ke atas. Kubiarkan beliau mencicipi sensasi itu. Pelan-pelan tanganku meremas pantatnya. Indun menunduk menatap wajahku di bawahnya. Pelan-pelan beliau mulai sanggup mengendalikan dirinya. Tampak nafasnya mulai agak teratur. Kupegang leher anak itu, dan kuturunkan mukanya. Muka kami semakin berdekatan. Bibirku kemudian mencium bibirnya. Kamu berdua melenguh, kemudian saling mengulum dan bermain lidah. Tangannya meremas dadaku. Aku mencicipi kenikmatan yang tiada tara. Segera kuangkat sedikit pantatku untuk mencicipi seluruh batang itu semakin ambles ke dalam vaginaku. “Ndun, ayo gerakin maju mundur pelan-pelan..” perintahku. Indun mulai memaju mundurkan pantatnya. Penisnya walaupun kecil, jika sudah keras begitu nikmat sekali dalam vaginaku. Aku mengerang-erang sekarang. Vaginaku sudah berair sekali. Banjir mengalir hingga ke pantatku, bahkan mengenai sofa ruang tamu. Aku mengarahkan tangan Indun untuk meremas-remas payudaraku lagi. Dengan hati-hati beliau berusaha tidak mengenai perutku, lantaran takut kandunganku. Ohhh… saya sudah sangat nafsuu… sekitar 15 menit Indun memaju mundurkan pantatnya. Tidak mengira beliau kini sekuat itu. Mungkin dulu beliau panik dan belum terbiasa. Aku tiba-tiba mencicipi orgasme yang luar biasa. “Ohhhh…” teriakku. Tubuhku melengkung ke atas. Indun terdiam dengan tetap menancapkan penisnya dalam lobangku. “Aku sampai, Ndunnnn……” saya terengah-engah. Sambil tetap membiarkan penisnya di dalam vaginaku, saya memeluk ABG itu. Badannya penuh keringat. Kami terdiam selama berepa menit sambil berpelukan. Penis Indun masih keras dan tegang di dalam vaginaku. “Ndun, pindah kamar yuk”, ajakku. Indun mengangguk. Dicabutnya penisnya dan berdiri di depanku. Aku ikut berdiri gemetar lantaran dampak orgasme yang mengebu barusan. Kemudian saya membimbing tangan anak itu membawanya ke kamarku. Di kamar saya meminta beliau melepaskan bajuku, lantaran agak repot melepas baju ini. Di depan perjaka itu saya kini telanjang bulat. Indun juga melepas bajunya. Sekarang kami berdua telanjang dan saling berpelukan. Aku lihat penisnya masih tegak mengacung ke atas. Aku rebahkan perjaka itu di kasurku. Lalu saya naik ke atas dan kembali memasukkan penisnya ke vaginaku. Kali ini saya yang menggenjotnya maju mundur. Tangan Indun meremas-remas susuku. Ohh, nikmat sekali. Penis kecil itu benar-benar hebat. Dia berdiri tegak terus tanpa mengendor seidkit pun. Aku sengaja memutar-mutar pantatku supaya penis itu cepat muncrat. Tapi tetap saja posisinya sama. Aku kembali orgasme, bahkan hingga dua kali lagi. Orgasme ketiga saya sudah kelelahan yang luar biasa. Aku peluk perjaka itu dan kupegang penisnya yang masih tegak mengacung. Kami berpelukan di tengah ranjang yang biasa kupakai bercinta dengan suamiku. “Aduuuh, Ndun.. kau berpengaruh juga ya. Kamu masih belum keluar ya?” “Gak papa Bu…” jawabnya pelan. Tiba-tiba saya punya pandangan gres untuk membantu Indun. Kuraih batang kecil itu dan kembali kumasukkan dalam vaginaku. Kali ini kami saling berpelukan sambil berbaring bersisian. “Ndun, Ibu udah lelah banget. Batangmu dibiarin aja ya di dalam, hingga kau keluar…” bisikku. Indun mengangguk. Kami kembali berpelukan bagai sepasang kekasih. Vaginaku berkedut-kedut mendapatkan batang itu. Kubiarkan banjir mengalir membasahi vaginaku, Indun juga membiarkan penisnya tersimpan rapi dalam vaginaku. Karena kelelahan saya tertidur dengan penis dalam vaginaku. Gak tahu berapa jam saya tertidur dengan penis masih dalam vaginaku, ketika jam 1 malam tiba hpku mendapatkan sms. Aku terbangun dan melihat Indun masih menatap wajahku sambil membiarkan penisnya membisu dalam lobangku. “Aduh, Ndun. Kamu belum sanggup bobok? Aduuuh, soriiii ya…” kataku sambil meremas penisnya dengan vaginaku. “Gak papa kok, Bu. Aku seneng banget di dalam..” kata Indun. Tanpa merubah posisi saya meraih hpku di meja samping ranjang. Kubuka sms, ternyata dari Mas Prasojo: “Hai Say, udah bobok? Kalau blum saya pengen telp”. Aku segera balas: “Baru terbangn, telp aja, kangen” Segera sehabis kubalas sms, Mas Prasojo menelponku. Aku mendapatkan telepon sambil berbaring dan membiarkan penis Indun di dalam vaginaku. “Hei… Sorii ganggu, udah bobok apa?” tanyanya. “Gak papa Mas, kangen. Kapan jadinya balik?” tanyaku. “Lusa, Dik, ini saya masih di jalan. Lagi ada pembekalan masyarakat. Gimana anak-anak?” “Hmmm…. “ saya agak menggeliat. Indun memajukan pantatnya, takut lepas penisnya dari lobangku. Aku meletakkan jariku di bibirnya, biar beliau tak bersuara. Indun mengangguk sambil tersenyum. “Baik, mereka oke-oke saja kok. Udah pada makan dan bobok nyenyak dari jam 9 tadi. Aku kangen mas…” “Sama.. Pengen nih” kata suamiku. “Sini, mau di verbal apa di bawah?” tanyaku nakal. “Mana aja deh” “Nih, pakai mulutku aja, udah usang gak dikasih. Udah gatel, hihih…” godaku. “Aduuh Dik. Aku lagi di kampung sepi. Malah jadi kangen sama kamu. Gimana hayooo?” rengek suamiku. Kami memang biasa saling terbuka soal kebutuhan seks kami. “Kocok aja Mas, saya juga mau” kataku manja. Kemudian saya menggeser Indun biar menindih di atas tubuhku. Sambil tanganku menutup hp, saya berbisik ke Indun, “Sekarang kau genjot saya sekencang-kencangnya hingga keluar, ya. Sekuat-kuatnya”. Indun mengangguk. Aku menjawab telepon suamiku, “Ayo, mas, buka celananya..” Aku mengambil cdku di sampingku, kemudian kujejalkan ke verbal Indun. Indun tahu maksudku biar beliau tidak bersuara. “Oke, Dik. Aku sudah menghunus rudalku..” Sambil menjawab mesra saya menekan pantat Indun biar segera memaju mundurkan penisnya dalam vaginaku. Indun segera membalasnya, dan mulai menggenjotku. Aku menyuruhnya untuk menurunkan kakinya ke samping ranjang sehingga perutku tidak tertindih badannya. Sementara saya mengangkang dengan dua kakiku terangkat ke samping kiri dan kanan tubuh laki-laki abg itu. Ohhh, ya Tuhan. Bagai kesetanan, Indun menggenjotku mirip yang kuperintahkan. Aku mengerang-erang, begitu juga suamiku. “Mas, saya masturbasi kesetanan ini….. Pengen banget…. Kamu kocok kuat-kuat yaaa….. Ahhhhh” “Iyyyyaaaa… Ooohhh, untung saya bawa cdmu, buat ngocok nihh…. Ohhhhh” erang suamiku. Tak kalah hebatnya, Indun menggasak lobangku dengan tanpa kompromi. Badan kurusnya maju mundur secepat bor listrik. Aku mengerang-erang tidak karuan. Suara lobangku berdecit-decit lantaran banjir dan ukiran dengan penis Indun. Benar-benar gila malam ini. Aku sudah tidak ingat lagi berapa usang saya digenjot Indun. Suaraku penuh nafsu bertukar kata-kata mesra dengan suamiku. Indun seakan-akan tak pernah lelah. Tubuhnya sudah banjir keringat. Stamina mudanya benar-benar membanggakan. Keringat juga membanjiri tubuhku. Sementara bunyi suamiku juga meraung-raung kenikmatan, semoga kamar beliau di perjalan dinas itu kamar yang kedap suara. Beberapa ketika kemudian saya kehabisan tenaga. Kuminta Indun untuk berhenti sejenak. Pemuda itu nampak terengah-engah sehabis menggenjotku habis-habisan. Setelah itu kami melanjutkan permainan kami. Indun dengan kuatnya menggenjotku habis-habisan. Aku tak tahu lagi apa yang kecerecaukan di telepon, tapi nampaknya suamiku juga sama saja. Beberapa ketika kemudian saya dan suamiku sama-sama berteriak, kami sama-sama keluar. Aku terengah-engah mengatur nafasku. Lalu suamiku memberi salam mesra dan ciuman jarak jauh. Kami betul-betul terpuaskan malam ini. Setelah ngobrol-ngobrol singkat, suamiku menutup teleponnya. Di kamarku, Indun masih menggenjotku pelan-pelan. Dia belum keluar rupanya. Wah, gila. Aku kawatir jepitanku mungkin sudah tidak mempan buat penisnya yang masih tumbuh. Kubiarkan penis perjaka itu mengobok-obok vaginaku. Tiba-tiba kudorong Indun, sehingga lepas penis dari lobangku. “Ohhh”, lenguhnya kecewa. Lalu saya tarik beliau naik ke tempat tidur, dan saya segera menungging di depannya. Indun tahu maksudku. Dia segera mengarahkan penisnya ke vaginaku. Tapi segera kupegang penis itu dan kuarahkan ke lobang yang lain. Pantatku! Mungkin di sanalah penis Indun akan dijepit dengan maksimal, pikirku tanpa pertimbangan. Indun sadar apa yang kulakukan. Disodokkannya penisnya ke lobang pantatku. Tapi lobang itu ternyata masih terlalu kecil bahkan buat penis Indun. Aku berdiri dan menyuruhnya menunggu. Lalu saya turun dan mengambil jelli organik dari dalam rak obat di kamar mandi. Dengan setia Indun menunggu dengan penis yang juga setia mengacung. Jelli itu kuoleskan ke seluruh batang Indun, dan sebagian kuusap-usapkan ke sekitar lobang pantatku. Kembali saya menunggingkan pantatku. Indun mengarahkan kotolnya kembali dan pelan-pelan lobang itu berhasil di terobosnya. “Ohhhhh…..” desisku. Sensasinya sangat luar biasa. Pelan-pelan batang penis itu menyusup di lobang yang sempit itu. Indun mengerang keras. Setengah perjalanan, penis itu berhenti. Baru separo yang masuk. Indun terengah-engah, begitu juga aku. “Pelan-pelan, Ndun…” bisikku. Indun memegang bongkahan pantatku, dan kembali menyodokkan penisnya ke lobangku. Dan alhasil seluruh batang itu masuk manis dalam lobang pantatku. “Ohhh, Tuhan…” rasanya sangat luar biasa, antara sakit dan nikmat yang tak terceritakan. Aku mengerang. Kami berdiam beberapa menit, membiarkan lobangku terbiasa dengan batang penis itu. Setelah itu Indun mulai memaju mundukan pinggangnya. Rasanya luar biasa. Pengalaman gres yang membuatku ketagihan. Beberapa ketika kemudian, Indun mengerang-erang keras. Dia memaksakan menggejot pantatku dengan cepat, tapi lantaran sangat sempit, genjotannya tidak sanggup lancar. Kemudian, “ohhhhh…” Indun memuncratkan spermanya dalam pantatku. Crot…Aku tersungkur dan Indun terlentang ke belakang. Muncratannya sebagian mengenai punggungku. Kami sama-sama terengah-engah dan kelelahan yang luar biasa. Aku membalikkan tubuhku dan memeluk Indun yang terkapar tanpa daya. Kami berpelukan dengan telanjang bundar sepanjang malam. ######################## Paginya, saya bangun jam 6 pagi. ABG itu masih ada dalam pelukanku. Oh, Tuhan. Untung saya mengunci kamarku. Mbok Imah tetangga yang biasa bantuin ngurusin belum dewasa sudah terdengar suaranya di belakang. Oh.. Apa yang sudah kulakukan tadi malam, saya benar-benar tidak habis pikir. Kalau malam waktu itu benar-benar hanya sebuah kecelakaan. Tapi malam ini, saya dan Indun benar-benar melakukannya dengan penuh kesadaran. Apa yang kulakukan pada anak abg ini? Aku jadi gelisah memikirkannya, saya takut menciptakan anak ini menjadi anak yang salah jalan. Rasa bersalah itu membuatku merasa bertambah sayang pada anak kecil itu. Kurangkul kembali tubuh kecil itu dan kuciumin pipinya. Tubuh kami masih sama-sama telanjang. Aku lihat si Indun masih nyenyak tidur. Mukanya nampak manis sekali pagi itu. Aku mengecup pipi anak itu dan membangunkannya. “Ndun… Bangun. Kamu sekolah khan?” bisikku. Indun nampak kaget dan segera duduk. “Oh, Bu.. Maaf saya kesiangan…” katanya gugup. “Gak papa Ndun, saya yang salah mengajakmu tadi malam” Kami berpandangan. “Maaf Bu. Aku benar-benar tidak sopan” “Lho, khan bukan kau yang mengajak kita tidur bersama. Aku yang salah Ndun” bisikku pelan. Indun menatapku, “Aku sayang sama Ibu…” katanya pelan. “Ndun, kau punya pacar?” “Belum, bu” “Kamu kesepakatan ya jangan cerita-cerita ke siapa-siapa ya soal kita” “Iya bu, gak mungkinlah” “Aku takut kau rusak lantaran aku” “Gak kok Bu, saya sayang sama Ibu” “Kamu jangan melaksanakan ini ke sembarang orang ya” kataku kawatir. “Tidak Bu, saya bukan cowok mirip itu. Tapi jika sama Ibu, masih boleh ya…” katanya pelan. Tiba-tiba saya sangat ingin memeluk anak itu. “Aku juga sayang kau Ndun. Sini Ibu peluk” Indun mendekat dan kami berpelukan sambil berdiri. Tangannya merangkul pinggangku, dan saya memegang pantatnya. Kami berpelukan usang dan saling berpandangan. Lalu bibir kami saling berpagutan. Gila, saya benar-benar serasa berpacaran dengan anak kecil itu. Mulut kami saling bergumul dengan panasnya. Aku lihat penis anak itu masih tegak berdiri, mungkin lantaran imbas pagi hari. Tanganku meraih batang itu dan mengocoknya pelan-pelan. Aku berpikir cepat, lantaran pagi ini Indun harus sekolah, saya harus segera merampungkan ketegangan penis itu. Aku segera membalikkan tubuhku dan berpegangan pada meja rias. Sambil melihat Indun lewat cermin saya menyuruhnya. “Ndun, kau pakai jeli itu lagi. Cepat masukin lagi penismu ke pantat Ibu” Indun buru-buru melumas batangnya. Aku menyorongkan bungkahan pantatku. Dari cermin saya sanggup melihat muku dan badanku sendiri. Ohh… agak aib juga saya melihat tubuhku yang mulai membengkak di sana-sini, tapi masih penuh dengan nafsu birahi. “Cepat Ndun, nanti kau terlambat sekolah”, perintahku. Sambil memeluk perutku, Indun mendorong penisnya masuk ke lobang pantatku. Lobang yang semalam sudah disodok-sodok itu segera mendapatkan batang yang mengeras itu. Segera kami sudah melaksanakan persetubuhan lagi. Aku sanggup melihat adegan seksi itu lewat cermin, di mana mukaku terlihat sangat nafsu dan juga muka Indun yang mengerang-erang di belakangku. “Ayo, Ndun, sodok yang kuat” “Iyyyaaa.. Bu” “Terusss… Cepat” Sodokan-sodokan Indun semakin cepat. Lobang pantatku semakin lentur mendapatkan batang imut itu. Sungguh kenikmatan yang luar biasa. Tidak berapa usang kemudian kami berdua sama-sama mencapai puncak kenikmatan. Indun membiarkan cairan spermanya meluncur deras dalam pantatku. Kami sama-sama terengah-engah menikmati puncak yang barusan kami daki. “Ohhh…” Sejenak kemudian saya lepaskan pantatku dari penisnya. “Udah Ndun. Sana kau mandi, pulang. Nanti kau terlambat lho sekolahnya” kataku sambil tersenyum. Indun mencari-cari pakaiannya. Tiba-tiba kami sadar jika celana Indun ada di ruang tamu. Aku suruh si Indun nunggu di kamar, dan saya segera berpakaian dan keluar ke ruang tamu. Moga-moga belum ada yang menemukan celana itu. Untungnya celana itu teronggok di bawah sofa dan terselip, sehingga Mbok Imah yang biasanya sibuk dulu menyiapkan sarapan belum sempat membereskan ruang tamu. Celana itu segera kuambil dan kubawa ke kamar. Si Indun yang tadinya nampak panik berubah tenang. Setelah menggunakan celananya, Indun kusuruh cepat-cepat keluar ke ruang tamu dan mengambil tas belajarnya yang semalam tergeletak di meja tamu. Setelah itu beliau pamit pulang. Aku segera mandi. Di kamar mandi saya mencicipi sedikit perih di penggalan lobang pantatku. Baru kali ini lobang itu menjadi alat seks, itu pun justru dengan anak kecil yang belum tahu apa-apa. Ada sedikit rasa sesal, tapi segera kuguyur kepalaku untuk menghilangkan rasa gundah di dadaku. ###################### Sorenya Indun kembali main ke rumah. Dia sudah sibuk membereskan buku-buku di gazebo kami. Malam itu Indun tidur lagi di kamarku. Mas Prasojo gres pulang besok harinya. Selama berjam-jam kami kembali bercinta. Kami saling berpelukan dan mengembangkan kasih selayaknya sepasang kekasih. Tapi sebelum jam 1 saya suruh Indun untuk segera tidur, saya kawatir sekolahnya akan terganggu lantaran aktivitasku. “Ndun, tadi kau di sekolah gimana?” bisikku sehabis kami selesai ronde ke tiga. Kami berpelukan dengan mesra di tengah ranjang. “Biasa aja Bu” “Kamu gak kelelahan atau ngantuk di sekolah?” “Iya Bu, sedikit. Tapi gak papa, saya tadi sempat tidur siang” “Aku takut menganggu sekolahmu” “Gak kok Bu. Tadi saya sanggup ngikutin pelajaran” “Okelah jika gitu. Tapi sehabis ini kau tidur ya, gak usah diterusin dulu” “Iya Bu” “Besok Mas Prasojo pulang, kau gak sanggup nginap disini” “Iya, Bu. Tapi kapan-kapan saya siap menemani Ibu di sini” “Yee…. maunya. Ya gak papa”, kataku sambil mencubit pinggangnya. “Aku mau jadi pacar Ibu” “Lho saya khan sudah bersuami?” “Ya gak papa, jadi apa saja deh” “Aku justru kasihan sama kamu. Besok-besok jika kau udah siap, kau cari pacar yang bener ya?” “Iya Bu. Aku tetap sayang sama Ibu. Mau dijadiin apa saja juga mau” “Idihh.. ya udah. Bobok yuk” kataku kelelahan. Kami tidur berpelukan hingga pagi. ####################### Setelah malam itu, saya semakin sering bercinta dengan Indun. Kapan pun ada kesempatan, kami berdua akan melakukannya. Indun sangat memperhatikan bayi dalam kandunganku. Setiap ada kesempatan, beliau menciumi perutku dan mengelus-elusnya. Kasihan juga saya lihat anak kecil itu sudah merasa harus jadi bapak. Herannya, saya juga kecanduan dengan penis kecil anak itu. Padahal saya sudah punya penis yang jauh lebih besar dan tersedia untukku. Bayangkan, beda usiaku dengan Indun mungkin sekitar 27 tahun. Bahkan anak itu lebih cocok menjadi adik anak-anakku. Tapi korelasi kami bertambah mesra seiring usia kehamilanku yang semakin membesar. Indun bahkan sering ikut menemaniku ke dokter tatkala suamiku sedang dinas keluar. Indun semakin perhatian padaku dan anak dalam kandunganku. Kami sangat senang lantaran bayi dalam kandunganku berada dalam kondisi sehat. Aku selalu mengingatkan Indun untuk tetap fokus pada sekolahnya, dan jangan terlalu memikirkan anaknya. Yang paling tidak sanggup dicegah adalah, Indun semakin usang semakin kecanduan lobang pantatku. Lama-lama saya juga mencicipi hal yang sama. Seolah-olah lobang pantatku menjadi milik langsung Indun, sementara lobang-lobangku yang lain dibagi antara Indun dan suamiku. Sampai sekarang, suamiku tidak pernah tahu jika pantatku sudah dijebol oleh Indun. Lama-lama saya kawatir juga dengan dongeng wacana korelasi kelamin lewat pantat sanggup menimbulkan banyak sekali penyakit, termasuk AIDS. Aku alhasil menyediakan kondom untuk Indun jika beliau minta lobang pantatku. Indun sih oke-oke saja. Dia juga kawatir, walaupun beliau sangat senang ketika masuk ke lubang pantatku. Untung saya dan suamiku juga adakala menggunakan kondom, sehingga saya tidak canggung lagi membeli kondom di apotik. Bahkan saya sering menerima kondom gratis dari kelurahan. Mungkin lantaran masih masa pertumbuhan, dan sering kupakai, saya melihat usang kelamaan penis Indun juga mengalami pembesaran. Penis yang semakin berpengalaman itu tidak lagi mirip penis imut pada waktu pertama kali masuk ke vaginaku, tapi sudah bermetamorfosis menjadi penis dewasa dan berurat ketika tegang. Aku sadar, jika saya ialah salah satu lantaran dari pertumbuhan instant dari penis Indun. Kekuatan penis Indun juga semakin luar biasa. Dia tidak lagi praktis keluar, bahkan jika dipikir-pikir, beliau mungkin lebih berpengaruh dari suamiku. Karena perutku semakin membesar saya jadi sering pakai celana legging yang lentur dan baju kaos ketat yang berbahan sangat lentur. Kalau di rumah saya bahkan hanya pakai kaos panjang tanpa bawahan. Orang niscaya mengira saya selalu pakai cd, padahal sering saya malas memakainya. Entah lantaran gawan ibu hamil atau lantaran nafsu birahiku yang semakin gila. ########################## Waktu ibu Indun mau naik haji, saya ikut sibuk dengan ibu-ibu kampung untuk mempersiapkan pengajian haji. Biasalah, jika mau naik haji niscaya hebohnya minta ampun. Aku termasuk dekat dengan ibu Indun. Namanya bu Masuroh, yang biasa dipanggil Bu Ro. Karena keluarga Indun termasuk keluarga yang terpandang di desa kami, maka jadwal pengajian itu menjadi jadwal yang besar-besaran. Banyak ibu-ibu yang ikut sibuk di rumah Bu Ro. Kalau saya ke sana saya lebih sering lantaran ingin ketemu Indun. Acara pengajian dan keberadaan Mas Prasojo di rumah menciptakan kesempatanku bertemu dengan Indun menjadi sangat terbatas. Sudah usang Indun tidak mencicipi lobang pantatku. Aku sendiri resah bagaimana mencari kesempatan untuk ketemu Indun. Walaupun saya sering pergi ke rumahnya dan adakala juga diantar Indun untuk berbelanja sesuatu untuk keperluan pengajian, tapi tetap saja kami tidak punya kesempatan untuk bercinta. Akhirnya pada ketika pengajian besar itu saya mendapatkan ide. Sorenya, segera kutelepon Indun menggunakan telepon rumah, lantaran saya sangat hati-hati menggunakan hp, apalagi untuk urusan Indun. “Assalamu’alaikum, Bu. Ini Bu Lani. Gimana Bu persiapan nanti malam, sudah beres semua?” “Oh, Bu Lani. Sudah Bu. Nanti datangnya agak sorean ya bu. Kalau gak ada Ibu, kita resah nih” jawab Bu Ro. “Iya, beres Bu. Saya sama Bu Anjar sudah kangenan sehabis magrib langsung kesitu, kok Bu. Indun ada Bu Ro?” “Ada Bu, sebentar ya Bu” Setelah Indun yang memegang telepon, saya segera bilang: “Ndun nanti malam kau pake celana yang sanggup dibuka depannya ya” kataku pelan “Iya Bu” jawab Indun agak bingung. “Terus kau pakai kondom kamu…” Malam itu pengajian dilangsungkan dengan besar-besaran. Halaman RW kami yang luas hampir tidak sanggup menampung jama’ah yang tiba dari seluruh penjuru kota. Bu Ro memang tokoh yang disegani masyarakat. Aku tiba bersama ibu-ibu RT dengan menggunakan baju atasan longgar yang menutup hingga bawah pinggang. Bawahannya saya menggunakan legging ketat, lantaran memang lagi biasa digunakan ibu-ibu pada ketika ini. Apalagi saya lagi hamil, niscaya orang-orang pada maklum akan kondisiku. Yang tidak biasa ialah bahwa saya tidak menggunakan apapun di balik celana leggingku. Sengaja saya tinggalkan cdku di rumah, lantaran saya punya sebuah pandangan gres untuk Indun. Setelah semua urusan kepanitiaan beres, saya segera bergabung dengan ibu-ibu jama’ah pengajian. Tapi kemudian saya dan beberapa ibu yang lain pindah ke halaman, lantaran lebih bebas dan sanggup berdiri. Hanya saja halaman itu sudah sangat penuh dan berdesak-desakan. Justru saya menentukan tempat yang paling ramai oleh pengunjung. Di kejauhan saya melihat Indun dan memberinya isyarat untuk mengikutiku. Indun beranjak menuju ke arahku, sementara saya mengajak Bu Anjar untuk ke sebuah lokasi di bawah pohon di lapangan RW. Lokasi itu agak gelap lantaran bayangan lampu tertutup rindangnya pohon. Walaupun demikian, banyak anggota jama’ah di situ yang berdiri berdesak-desakan. “Kita sini aja Bu, jika Ibu mau. Tapi jika ibu keberatan, silakan Ibu pindah ke sana” kataku pada Bu Anjar. “Gak papa Bu, di sini lebih bebas. Bisa absen jika udah kemaleman, hihihi..” kata Bu Anjar. “Iya , ya. Biasanya pengajian ginian sanggup hingga jam 12 lho” Kami kemudian bercakap-cakap dengan seru sambil mendengarkan pengajian. Ternyata di sebelah Bu Anjar adan Bu Kesti yang juara negrumpi. Kami segera terlibat pembicaraan serius sambil sekali-kali mendengarkan ceramah jika pas ada cerita-cerita lucu. Kami berdiri agak di barisan tengah, Bu Anjar dan Bu Kesti menerima tempat duduk di sebelahku. “Bu, monggo jika mau duduk” tawarnya padaku. “Wah gak usah Bu. Saya lebih suka berdiri gini aja” jawabku. Padahal saya sedang menunggu Indun yang sedang berusaha menyibak kerumunan menuju ke arah kami. Akhirnya Indun tiba di belakangku. Dua ibu-ibu sebelahku tidak memperhatikan kehadiran Indun, tapi saya melirik anak muda itu dan menyuruhnya berdiri sempurna di belakangku. Aku bergeser berdiri sedikit di belakang dingklik Bu Anjar dan Bu Kesti. Sementara Indun dengan segera berdiri sempurna di belakangku. Dengan belakang layar saya menempelkan pantatku ke tubuh Indun. Indun tersenyum dan memajukan badannya. Pantatku yang semlohai segera melekat pada penis Indun yang sudah tegang di balik celananya. Aku berbisik pada Indun, “buka, Ndun. Udah pakai kondom?” Indun mengangguk dan membuka risliting celananya. Segera tersembul batangnya yang sudah mengeras. Segera kusibakkan baju panjangku ke atas dan nampaklah leggingku sudah kuberi lobang di penggalan belahan pantatku. Indun nampak terkejut, dan sekaligus mengerti maksudku. Dengan pelan-pelan diarahkannya batang kerasnya ke lobang pantatku. Dan, slepppp. Masuklah batang itu ke lobang favoritnya. Tangan Indun masuk ke dalam bajuku sambil mengelus-elus perutku. Batangnya berada di dalam lobangku sambil sesekali dimaju mundurin. Kami bercinta di tengah keramaian dengan tanpa ada yang menyadarinya. Walaupun begitu saya tetap bercakap-cakap dengan dua ibu-ibu tetanggaku itu. Sementara di kanan kiri kami orang-orang sibuk mendengarkan ceramah dengan berdesak-desakan. Sekitar satu jam Indun memelukku dalam gelap dari belakang. Tiba-tiba vaginaku berkedut-kedut, pengen ikut disodok. Kalau dari belakang berarti saya harus lebih nunduk lagi. Pelan-pelan kutarik keluar penis Indun dan kulepas kondomnya. Aku kembali mengarahkannya, kali ini ke lubang vaginaku. Indun mengerti. Lalu, bless.. dengan lancarnya penis itu masuk ke vaginaku dari belakang. Ohh, lezat sekali. Aku mulai tidak konsentrasi terhadap ceramah maupun dialog dua ibu-ibu itu. Karena hanya sesekali kami bergoyang, maka adegan persetubuhan itu berlangsung cukup lama. Kepalaku sudah mulai berkunang-kunang kenikmatan. Di tengkukku saya mencicipi nafas Indun semakin ngos-ngosan. Beberapa ketika kemudian, saya mengalami orgasme hebat, tanganku gemetar dan langsung memegang sandaran dingklik di depanku. Indun juga kemudian memuncratkan maninya dalam vaginaku. Kami berdua hampir bersamaan mengalami orgasme itu. Setelah agak reda, saya mendorong Indun dan mengeluarkan penisnya. Cepat-cepat Indun memasukkan dalam celananya, dan kuturunkan baju penggalan belakangku. Aku dan ibu-ibu itu tetapkan untuk pulang sebelum jadwal selesai. Untung saja saya dan Indun sudah selesai. Dengan mengedipkan mata, saya menyuruh Indun untuk meninggalkan lokasi. Akhirnya terpuaskan juga hasrat kami sehabis hari-hari yang sibuk yang memisahkan kami.

0 Response to "Aku Di Hamili Abg Tetangga"

Posting Komentar