Bimbingan Birahi Dengan Dosen Baru

 begitu kataku  sambil merapikan isi ransel dan beranjak menuju garasi Bimbingan Birahi Dengan Dosen Baru

Cerita Dewasa: Bimbingan Birahi Dengan Dosen gres | Cerita cukup umur – “Laptop, materi materi, HP, dompet, rokok,,, OK clear!!” begitu kataku sambil merapikan isi ransel dan beranjak menuju garasi. Sampai di garasi, saya gres ingat kalau salah satu ban mobilku kempes semenjak 3 hari yang lalu. Dan akhirnya, saya memutuskan pergi dengan motor meskipun tampaknya akan turun hujan. Cerita Dewasa Birahi 2014 | Malam ini saya ada kesepakatan dengan dosen pembimbing TA ku. Aku yaitu seorang mahasiswa angkatan tua. Sudah 7 tahun saya kuliah sampai-sampai dosen pembimbing TA ku diganti alasannya harus melanjutkan study keluar negeri. Sisi baiknya, sang dosen pengganti yaitu seorang perempuan elok yang mungkin usianya hanya terpaut 2-3 tahun dari umurku. Maklum lah, saya sendiri sudah berumur 25 tahun ketika ini. Bu Chintya, begitulah kami biasa memanggilnya. Seorang perempuan muda yang tak hanya cerdas dan penuh kharisma namun juga elok dan modis. Beliau resmi mengajar di fakultas kami gres 1 semester. Tapi dengan berjuta keanggunan itu, tak heran jikalau ia pribadi dikenal & dikagumi oleh seluruh penghuni kampus. Cerita Dewasa Birahi 2014 | Minggu ini, Bu Chintya cuti sakit. kabarnya tanda-tanda thypus yang disertai maag. Suatu informasi yang sangat jelek bagi kelas yang diajarnya, alasannya selama ia cuti, tentu saja belum dewasa tidak bisa bertatap muka dengan bu dosen yang katanya menjadi semangat berguru mahasiswa. Tapi hal ini lain bagi mahasiswa TA bimbingan Bu Chintya. Kemarin pagi Bu Chintya mengirimkan e-mail yang mempersilahkan seluruh mahasiswa bimbingannya mengirimkan pekerjaan masing-masing via e-mail, kemudian ia menjadwalkan kami untuk bimbingan di rumahnya selama ia cuti. Sungguh seorang dosen yang sempurna. Cantik, cerdas dan penuh integritas. *** “blok C3 nomer 21”, begitu saya membaca kembali sms yang berisi alamat Bu Chintya. Tak terasa saya telah hingga di perumahan Griya Pesona, dan tinggal 1 blok lagi saya telah hingga di kediaman beliau. “sebelah kiri jalan, gerbang merah maroon”, kataku dalam hati sambil memarkirkan motorku didepannya. Rumah itu tidak terlihat megah, tapi terlihat sangat rapi. Kombinasi warna lampu tamannya terlihat sangat menarik dimataku. Dan seolah tidak ingin membuang-buang waktu lagi, saya bergegas memencet bel dibalik gerbangnya. “selamat malam” begitu sambut sosok pemilik rumah yang sudah kukenal baik itu. Dan tak usang kemudian, kami sudah duduk berhadapan di ruang tamu yang ukurannya juga tidak terlalu luas. Malam itu Bu Chintya mengenakan atasan tanpa lengan berwarna hitam, dengan bawahan celana ketat berwarna abu-abu. Sungguh padu padan yang pas sekali, terlihat sexy tetapi tidak menyirnakan keanggunannya. Sangat cantik. “kamu tadi tidak kehujanan kan?” tanyanya membuka pembicaraan. “tidak Bu. Ibu sudah sehat?” kataku basa-basi “ah, saya bantu-membantu juga tidak merasa sakit kok” jawabnya sambil tersenyum dan menyalakan netbook-nya. “Dhimas Perdana, HC04XXXXX, betul kan?” katanya sambil membuka file pekerjaanku, dan saya pun mengangguk meng-iya-kan. “nah, saya harus menyampaikan kepadamu bahwa kau selalu mengulang kesalahan yang sama. Sekarang kau baca hasil pekerjaanmu dan silahkan bertanya kalau ada yang belum paham” katanya sambil memutar netbook berisi draft TA yang penuh coretan-coretan highlight itu kearahku “seperti yang sudah saya katakan kemarin, sebaiknya tulisanmu jangan bertele-tele. Gunakan sumber materi yang valid dan jangan menuliskan pendapatmu sendiri kedalam dasar teori. Kalau kau ingin mengutip, blablabla…” Begitulah Bu Chintya menelanjangi hasil kerjaku seolah semua yang kukerjakan penuh kesalahan. Sekilas saya melirik wajah elok yang penuh ekspresi itu, dan memang semua yang dikatakanya tidak salah. “maaf Bu, kalau mengenai paragraf ini, kira-kira yang salah potongan mana?” kataku sedikit memotong pembicaraannya sambil menghadapkan netbook itu kearahnya “nah, kalau yang ini mengenai penggunaan kalimatnya. Kalimat ini mengandung makna yang sama persis dengan potongan ini,” begitu katanya sambil menyorot beberapa kalimat dibawahnya “maaf bu, boleh saya duduk disitu, soalnya dari sini kurang jelas” begitu sahutku sambil menunjuk dingklik panjang yang diduduki Bu Chintya “ya silahkan” katanya sambil menggeser posisi duduknya. Dan hasilnya malam itu kulewati dengan duduk bersanding Bu Chintya sambil mendengarkan ceramahnya. Malam minggu, hujan gerimis mulai turun, dan duduk bersanding Bu Chintya. “What a perfect weekend” begitu kataku dalam hati. Dan tentu saja kalimat-kalimat yang terdengar dari bibir tipis itu tidak sepenuhnya lagi kusimak. Aku lebih memperhatikan gerak bibirnya dari belakang sambil menikmati kecantikannya parasnya. “ada pertanyaan lagi?” katanya mengakhiri penjelasannya “ehm, tidak bu” jawabku cepat “kamu ini bantu-membantu sudah paham, tapi kurang serius saja menulisnya. Tolong yang serius yak,, kasihan penelitianmu. Kabarnya TA ini sudah 4 semester tidak kau kerjakan ya?” “hehe,, kan yang 1 tahun cuti Bu.. jawabku sekenanya” “apa bedanya??? Ya pokoknya saya harap semester ini kau selesaikan. Kalau tidak, silahkan cari pembimbing lain saja” kata Bu Chintya dengan nada tegas. “ngomong-ngomong kau mau minum apa? Saya buatkan kopi sambil nunggu hujan reda ya?” kata Bu Chintya sambil beranjak berdiri “What a super perfect weekend!! Sekarang malah program ngopi bersama Bu Chintya ” begitu kataku dalam hati dengan polos. Dan satu hal lagi kusadari ketika Bu Chintya beranjak menuju dapur. Tampak terperinci ketika ia lewat didepan mataku, celana abu-abunya mencetak terperinci belahan pantatnya. “masa’ Bu Chintya gak pake CD yak??” begitu kira-kira pikiran jorokku tiba-tiba muncul dan segera kutepis jauh-jauh. Beliau termasuk dosen yang kuhormati, so, tampaknya tidak pantas kalau saya berpikiran yang aneh-aneh menyerupai itu *** “Ngomong-ngomong, kau orisinil mana dim?”.. tiba-tiba Bu Chintya sudah muncul lagi membuyarkan lamunanku. “Katanya kau buka perjuangan konveksi ya?” lanjutnya sambil meletakkan cangkir kopi didepanku “Iya bu. Usaha clothing kecil-kecilan. Saya orisinil Surabaya Bu. Kalau Ibu orisinil mana?” kataku menanggapi. “Saya kecil di Medan, tapi sudah pindah sini semenjak kuliah S1 dulu. Katanya perjuangan clothing kau sudah kirim kemana-mana ya??? memang mahasiswa kalau sudah kenal duit biasanya jadi susah lulus.” sahutnya sambil tertawa kecil. Dan hasilnya malam itu kami lewati dengan pembicaraan-pembicaraan ringan perihal bisnis yang sedang kujalankan, perihal hobby kami, perihal keluargaku, perihal keluarga Bu Chintya, dll. Ternyata Bu Chintya yaitu anak bungsu dari 3 bersaudara. Kedua abang laki-lakinya sudah berumah tangga. Ayahnya yaitu orang Medan, seorang pejabat militer dan ibunya seorang keturunan Belanda. Kedua orang renta Bu Chintya bercerai semenjak ia duduk di SMU, oleh alasannya itu, Bu Chintya memutuskan untuk tinggal sendiri di rumah ini, semenjak ia lulus SMU dulu. “Ngomong-ngomong, hujannya tambah deras dim, kau tunggu disini dulu saja hingga reda. Saya mau masuk dulu sebentar” kata Bu Chintya sambil menengok kearah jam yang tergantung disudut ruangan “eh, sudah malam Bu. Sudah setengah 10. Mending saya nekat saja, daripada nanti tambah malam. Kayanya hujanya juga ndak bakal berhenti” begitu jawabku sambil melihat memasukkan laptopku “ya kalau hujanya ndak berhenti kau nginep disini saja ndak pa pa” sahut Bu Chintya sambil tersenyum menirukan gaya bicaraku “ya kalau saya nginep nanti bisa dimasa tetangga Bu” begitu sahutku dengan nada bercanda “siapa yang mau ngeroyok kamu?” sahut Bu Chintya cepat. “Saya tidak bercanda kok dim. Kamu bisa disini dulu kalau kau mau. Daripada kau hujan topan nekat”. begitu sahut Bu Chintya. Jawabanya singkat, tapi cukup menegaskan bahwa dia tidak bercanda. “bagaimana? Kalau mau nekat hujan-hujan tidak apa-apa. Saya tidak bisa melarang kamu, tapi kalau mau nunggu hujan dulu juga tidak apa-apa. “eh, saya nunggu hujan dulu saja bu” jawabku sambil tetap merapikan laptopku. “OK, saya masuk dulu ya. Soalnya disini banyak angin. Nanti kalau hujannya belum reda silahkan istirahat disini, anggap saja rumah sendiri. Jangan lupa motormu dimasukkan” begitu kata Bu Chintya sambil tersenyum “iya Bu”, begitu jawabku singkat. *** Aku sendiri tidak habis pikir. Bagaimana bisa seorang Bu Chintya memperlihatkan saya untuk tidur disini. Biarpun saya tidur diteras sekalipun, apakah layak seorang mahasiswa sepertiku tidur dirumah seorang dosennya? Apakah ini suatu jebakan? Jangan-jangan ada konspirasi atau planning khusus dari pihak kampus, atau apapun itu. Begitulah pikiranku muluk-muluk, dan ternyata hujan tak kunjung reda. Sementara hujan angin semakin deras, akupun memutuskan memasukkan motorku dan menutup pintu depan. Bukan alasannya saya memutuskan untuk menginap, tapi angin diluar tambah kencang dan air hujan tertiup masuk ke ruang tamu. “Nanti kalau reda gres balik deh” begitu kataku dalam hati Setelah menutup pintu, saya bergegas masuk kedalam mencari Bu Chintya, bukan pula alasannya saya ingin tidur dirumahnya, melainkan saya ingin ke toilet mencuci kaki sambil buang air kecil Ternyata Bu Chintya berada didalam kamarnya. Aku mendengar bunyi ia menonton TV sambil tertawa kecil. Dan saya pun bergegas mendekat dan mengetuk pintu kamarnya yang memang terbuka. “Eh dimas, gimana? Makara mau nginep? Masuk dim” sahut ia sambil tetap menyimak TV-nya. Tubuhnya terbaring diatas spring bed yang cukup lebar, sementara selimut tebal yang tampaknya sangat hangat menutup hingga bahunya. “eh tidak Bu, saya mau ke toilet” begitu jawabku “ya silahkan” sahutnya cepat. “pakai yang didalam saja ya, soalnya yang diluar tidak ada sabunnya. saklarnya ada disamping pintu” lanjutnya sambil menunjuk ke salah satu sudut kamarnya Dengan sedikit canggung, hasilnya saya masuk dan pipis di kamar mandi di kamar Bu Chintya. Padahal tadi saya mau buang air di toilet belakang. Tidak enak kan kalau masuk rumah hingga ke belakang tanpa bilang. Rasanya agak rikuh juga buang air di kamar mandi Bu Chintya, apalagi yang punya kamar sudah berbaring nyaman ditempat tidurnya. “pintu depan sudah ditutup?” begitu tanyanya begitu saya keluar dari kamar mandi, sambil tetap menyimak tayangan TV yang tergantung disisi kanan kamar “ehm, sudah Bu” begitu jawabku canggung “ya sudah, itu acaranya bagus lho. Kalau kau perhatikan bisa jadi masukan buat TA-mu” katanya sambil membesarkan volume TV “ini perihal budaya Jepang jaman PD 2, ini bisa jadi tumpuan blablabla..” begitu lanjutnya menerangkan. Aku sendiri hanya bisa melihat tayangan TV itu dari depan pintu kamar mandi, dan galau harus bagaimana. Mati gaya banget lah “Heh, mau sampe kapan berdiri disitu?” Bu Chintya segera berseru dengan tanggap. Sepertinya ia tahu kalau saya berdiri disitu dengan canggung. “ngapain terdiam disitu??”, lanjutnya sambil menggeser posisi tidurnya. Dengan bahasa badan menyerupai itu, saya menangkap bahwa ia menginginkan saya beranjak ke tempat tidurnya. Atau setidaknya, duduk disitu lah. Dan, dengan sedikit salah tingkah saya pun mendekat dan duduk diseberang tempat Bu Chintya berbaring. Tepatnya dibelakang Bu Chintya yang sedang asyik memperhatikan TV nya. Sesaat kami pun terdiam. Aku benar-benar merasa canggung berada disini. Aku juga tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana, saya benar-benar merasa aneh dan mati gaya. Aku berada dikamar Bu Chintya, seorang dosen yang menjadi idola di kampus, atau mungkin idola di universitas!!! ckckck “nih bantalmu” begitu kata Bu Chintya sambil mengulurkan sebuah bantal kepangkuanku. Tampaknya ia tahu bagaimana saya merasa aneh dan tidak tahu harus bagaimana. Dan dengan bantal yang yang diulurkan padaku itu, saya malah tambah galau harus bagaimana. Aku tambah salah tingkah dan tetap membisu “kurang besar apa dim? atau kau mau pakai bantal saya saja?” katanya sambil tertawa ringan dan menggeser bantal panjang berwarna putih yang menopang wajah cantiknya. “eh” saya tambah galau dengan kalimat terakhirnya, dan saya masih tak bisa menyahut apa-apa, sekalipun saya tahu maksud ia yaitu mempersilahkan saya tiduran disitu “ehm, maksud Ibu, saya tidur disini?” kataku terbata. Seolah saya galau mau menyahut apa “apa kau mau tidur di garasi? Sepertinya kasur saya masih sisa banyak kalau cuma kau tiduri” sahutnya sambil tersenyum Dan sekali lagi saya sangat tidak percaya dengan kata-katanya. Aku tidak percaya dengan telingaku sendiri. Namun saya tetap mengerti apa yang dimaksud dan segera berbaring sambil tetap menyaksikan tayangan TV yang tergantung didepan Bu Chintya. Sesaat kemudian, nampak program TV yang kusaksikan dengan canggung itu hampir selesai, dan tiba-tiba bunyi Bu Chintya kembali memecah kecanggunganku “lampu besar saya matikan saja ya dim, saya tidak bisa tidur kalau terlalu terang” Dan tanpa banyak berkata lagi, ia pribadi beranjak turun dari tempat tidur, dan saya benar-benar tidak percaya dengan apa yang kulihat. Dibalik selimut itu, Bu Chintya masih mengenakan atasan berwarna hitam yang tadi dikenakannya, tetapi ternyata ia tidak lagi mengenakan celana abu-abunya. Sebagai gantinya, seutas tali G string hitam terselip diantara belahan pantatnya. Terlihat terperinci pantat yang halus dengan paha yang mulus itu bergerak menuju pintu kamar, dimana saklar lampu berada. OMG!!! I can’t believe what i’ve see. Setelah mematikan lampu, Bu Chintya berjalan kearah tempatku berbaring, dan melewatiku yang ternganga dan sibuk mengalihkan pandangan. Beliau berjalan menuju kekamar mandi yang terletak tepat dibelakangku, tepatnya diatas kepalaku. Tampaknya ia menggosok gigi, ia sedang berkemas-kemas untuk tidur. Bu Chintya hanya dengan G-string hitam menutupi potongan bawahnya, oh My God, I cant realized what I’ve see. Dan G-string itu menjawab misteri belahan pantat yang terlihat terperinci dibalik celana abu-abu tadi. Ternyata Bu Chintya tadi mengenakan G-String didalamnya. Dan apakah saya bermimpi ketika ini? Aku tidak tahu, saya tidak mau tahu. Dan dengan cepat saya menyusupkan kakiku dibalik selimut. Andaikan ini mimpi, sungguh saya berharap saya tidak terbangun dari tidurku. “Sebenarnya saya tidak suka celana jeans diatas tempat tidur dim” tiba-tiba Bu Chintya sudah berdiri lagi disamping tempatku berbaring, tepatnya disamping kepalaku. Tapi alasannya sudah terlanjur ya tidak apa-apa” begitu lanjutnya sambil berjalan mengelilingi tempat tidur, dan kembali menyusupkan kedua kaki jenjangnya kedalam selimut dan berbaring sambil memindah chanel televisi. Beliau tampak beberapa kali memindah saluran, tapi tampaknya tidak ada yang menarik baginya. Kini dia berbaring membelakangiku, menghadap sisi dimana televisi LCD 32” itu digantungkan. Dan dengan segenap jiwa, saya mencoba memberanikan diri membuka pembicaraan. Aku anggap ketika ini sebagai sebuah mimpi, so, its free to me to speak up!!! “ehm, Ibu suka John Lennon?” begitu kalimat pembuka yang otomatis kuucapkan ketika melihat Bu Chintya berhenti memencet-mencet remotenya pada salah satu channel music “yakk, i love The Beatles, dan tolong berhenti memanggil saya Ibu” begitu ungkapnya tegas “kalau nggak boleh panggil Ibu, terus saya harus panggil gimana ni bu?” “ya terserah kau mau panggil gimana. Yang niscaya disini kan bukan dikampus, kalau kau panggil saya Ibu, kok kesannya saya ini sudah renta banget. Padahal, bisa jadi kau lebih renta dari saya lho” begitu jawabnya bercanda “ya, nggak lah bu, saya ini kan masih mahasiswa, young teenager yang masih energik dan bersemangat” “whatever you say. Yang niscaya saya kuliah S1 tahun 2001, so, paling kau 3-4 tahun lebih muda. Itu juga kalau kau SMUnya lancar.” “eh, saya SMUnya malah cuma 2 tahun bu”, jawabku berkelakar “jangan panggil saya Ibu,,, thats the point.” ungkapnya kemudian “you can call me chintya, atau teman-teman dekatku biasa memanggil cinta” “eh, begitu ya cin,,” sahutku bergumam “canggung ah kalau panggil menyerupai itu, gimana kalau “kak” atau “mbak” atau gimana lah,, saya canggung bu, eh, mbak..” “kenapa nggak manggil tante saja!! supaya puas sekalian. Kamu ini bikin saya merasa renta saja” jawab Bu Chintya ketus sambil tetap tertawa ringan “OK deh mbak, saya panggil cinta… Ngomong-ngomong, kalau saya disini, nggak ada yang murka apa mbak,, eh, cin?” “maksudmu, kau bertanya apa saya tidak punya pacar,, begitu?” ungkapnya sambil berbalik menghadap kearahku. Sorot matanya terlihat serius dan menatap tajam mataku “eh, ya bukan begitu mbak,,, eh, ya tapi mungkin bisa begitu maksudnya, atau,,,” saya jadi salah tingkah sendiri dengan pertanyaanku. Tampaknya saya juga salah bertanya “dimas, tampaknya kau harus banyak berguru perihal wanita. Masa’ kau bertanya menyerupai itu kepada perawan renta menyerupai saya?” lanjutnya sambil tetap menatap mataku “eh, bukan begitu maksud saya mbak,, eh,, saya cuma….” “nggak apa-apa kok, saya cuma merasa familiar dengan pertanyaanmu barusan. pertanyaanmu itu menyerupai pertanyaan papaku saja”: “kapan kau nikah cin?? Ngga mungkin lah gadis cantiknya papa gak laku-laku??” sambungnya lagi dengan nada serius “eh” saya benar-benar tambah salah tingkah dengan ucapan beliau. Aku tidak bisa berkata apa-apa, dan memang tampaknya saya salah bertanya. Sorot matanya yang tajam itu seolah melucuti mentalku yang tiba-tiba hancur runtuh. Dia benar-benar menelanjangi mataku dengan wajah cantiknya yang sangat erat dihadapanku, sangat-sangat dekat. Mungkin hanya berjarak 5cm dari hidungku. Dan saya benar-benar merasa terpojok dengan ucapannya Namun tiba-tiba dia tersenyum dengan senyuman yang sangat teduh dan menenangkan. Raut mukanya tiba-tiba berubah seolah mengatakan: “aku hanya bercanda, saya tidak murka kok”. Dan kami saling bertatapan sangat dalam. Sungguh saya terpesona dengan kecantikannya. Kecantikan khas seorang Indo yang menurutku mustahil ditandingi oleh siapapun juga. Dan ditengah kekagumanku akan wajah menawan itu, tanpa berkata apa-apa, tiba-tiba dia memajukan kepalanya, dan dengan cekatan dia memagut bibirku. Aku benar-benar kaget dan tidak menyangka hal ini terjadi. Jantungku berdegup sangat kencang, darahku seakan mengalir sangat deras kearah kepala. Aku menyadari bahwa saya sedang bercumbu dengan idola dari segala idola. Aku sanggup mencicipi dengan terperinci aroma nafasnya yang wangi, bibir basahnya yang menghisap pelan bibirku, dan lidahnya yang mulai bermain dirongga mulutku. Semakin lama, bibir kami terpaut semakin dalam, hingga tak sadar tanganku telah memeluk erat tengkuknya, dan kami tidak lagi berbaring berdampingan, melainkan saya telah berada diatasnya. Perlahan saya memberanikan diri untuk menggeser cumbuan bibirku, saya memberanikan diri mencumbu potongan leher hingga belakang telinganya, dan tampaknya dia sangat menikmatinya. Sungguh saya tak percaya dengan apa yang kulakukan. Sesaat saya menghisap daun telinganya perlahan, dan saya bisa membaui dengan terperinci aroma wangi yang selama ini hanya terasa samar. Sungguh seorang perempuan yang elok dan spesial. “dim, boleh kubuka ini?” kata Chintya tiba-tiba sambil menyingkap kaos hitamku. Aku tidak menyahut dan menjawabnya dengan membuka kaos yang kukenakan. Dan tak usang kemudian, Chintya sudah asik memainkan dadaku dengan lidahnya yang hangat. Aku sungguh merasa melambung tinggi dengan permainan lidahnya, dan saya sengaja bergeser dan berbaring hingga Chintya lebih bebas mengexplore tubuhku. Dan tanpa dipersilahkan, Bu Chintya sudah telungkup menindih perutku. Mulutnya yang lembut tak henti-hentinya menjilat wilayah dadaku, dia terus melaksanakan ritual tersebut hingga lidahnya kembali menuju bibirku, dan sekali lagi kedua bibir itu berciuman erat. Dia kembali mencumbu erat bibirku, dan melanjutkan kecupanya hingga wilayah leher dan telingaku. Tanganku pun dengan sigap memeluk erat pinggulnya sambil mencumbu potongan bawah lehernya. “boleh tangan saya masuk Cin?” tanyaku sambil tetap menikmati permainan lidahnya. Kali ini jemariku sudah mulai berani menyusup melalui potongan bawah kaosnya dan meraba potongan punggungnya. Dapat kurasakan punggung yang halus itu bersinggungan dengan jariku Chintya pun menghentikan usapan lembut lidahnya di potongan belakang telingaku, dan berbisik pelan: “mau masuk kemana memangnya?” “eh,, mau masuk kesini, eh, mbak”, kataku gugup, sambil menghentikan jemariku yang tengah meraba potongan perutnya yang rata dan terawat. Dan, Chintya pun tidak menjawab pertanyaanku, dia hanya tersenyum elok sambil menggenggam potongan bawah kaosnya, kemudian menyingkapnya keatas dengan cekatan. Yah, dia membuka epilog atas tubuhnya itu yang ternyata sudah tidak dilapisi bra didalamnya. Dan mataku kembali terbelalak ketika atasan itu tersingkap melewati potongan dadanya. Sebuah pemandangan yang terindah yang pernah kulihat. Sepasang gumpalan daging tersembul dibalik kaos itu, sangat halus dan lembut. Saking halusnya, sanggup kulihat alur urat yang tersembunyi tipis dibalik kulitnya. Sungguh payudara terindah yang pernah kulihat. Ukurannya tidak terlalu besar, mungkin sekitar 34an, tetapi ukurannya sangat proporsional dengan tubuhnya, ditambah lagi dengan putingnya yang mungil berwarna coklat kemerahan menghiasi ujung-ujungnya. Sangat-sangat sempurna, im really speechless Saking kagumnya dengan payudara itu, saya tidak menyadari tangan nakalku sudah meraba lembut potongan bawah gumpalan daging itu, “eh,, boleh saya…” “sure..” katanya memotong kalimatku sambil kembali telungkup dan melumat bibirku. Mendapat perlakuan menyerupai itu, saya pun tak mau kalah. Seolah telah mendapat ijin, akupun melayangkan serangan-serangan yang lebih berani. Kedua tanganku segera meremas lembut payudara indah itu, dan permainan Chintya pun semakin mengganas. Dia tampaknya tidak menyampaikan kesempatan bagiku untuk memegang kendali. Bibir mungilnya semakin agresif, dia menorehkan cupang merah tipis didadaku, hingga menjelajahi perut bawahku sambil menyibak selimut yang masih sedikit menaunginya. Sangat-sangat liar, bahkan saya tidak kesampaian mencicipi puting merah itu dengan bibirku. Sambil bibir mungilnya terus beraksi, dia menarik turun resliting celanaku, “no jeans in my bed” begitu bisiknya ditelingaku sambil tersenyum menggoda. Dan saya hanya bisa pasrah ketika ternyata Chintya tidak hanya berniat melucuti celana jeansku. Dia mencengkeram jeans berikut celana dalamku, menariknya turun dengan cekatan, dan melepaskanya dari kakiku hingga saya benar-benar dibentuk bugil dihadapnya. Sekali lagi saya merasa bahwa saya sedang bermimpi, saya sedang bugil dihadapan idola kami semua. Sungguh saya tidak percaya, Chintya sedang mencumbu perut potongan bawahku, dengan pangkal pahaku yang terbuka lebar tanpa seuntai benang pun menutupinya. Sungguh terasa bagaikan mimpi, imajinasiku melayang jauh dan saya tidak pernah mencicipi moment seindah ini, seorang perempuan yang kupuja, sedang bermain-main dipangkal pahaku. Dan sekali lagi Chintya memperlihatkan keajaiban lidahnya, kali ini serangannya diarahkan pada potongan bawah perutku. Yak, dia mencoba membunuhku dengan jilatan-jilatan janjkematian dibawah sana. Dan tak usang kemudian, tangan kanannya memegang erat batang yang sudah berdiri tegak disana. Dan sambil menatap mataku dia mengecup potongan kepalanya, dan segera memasukkan batang itu kedalam mulutnya. Sungguh sekali lagi saya merasa terbang ke awan. Tidak menyerupai lumatan-lumatan yang pernah kurasa, pengecap Bu Chintya benar-benar ajaib, dia benar-benar bisa memainkannya dibawah sana, just like a french kiss in my junior. Begitupun dia tidak perhenti disitu, sehabis puas menghisap potongan batang, Bu Chintya menggeser mulutnya kebawah, dan inilah pertama kali saya mencicipi sensasi rangsangan di potongan paling bawah sana. Chintya melumat habis pangkal bola-bolaku, dan melanjutkannya dengan mencumbu area sun hole-ku dengan liarnya. Dan tampaknya dia begitu menikmatinya. Dia melakukannya sambil terus memainkan bola-bolaku, sungguh suatu sensasi yang luar biasa. Sejenak, ingin rasanya saya membobolkan saja pertahananku dan mengaku kalah. Bibir Bu Chintya yaitu bibir paling gila yang pernah kuhadapi. Namun saya masih bisa berpikir sehat. Aku segera menarik potongan pangkal pahaku itu dari cengkeramannya, dan segera memagut bibir aneh itu dengan bibirku. Dengan cepat pula, kubaringkan Chintya alasannya kali ini saya ingin menguasai permainan. Aku pun segera berganti memperlihatkan potensiku. Kembali kurangsang potongan leher Bu Chintya, kujilat perlahan, hingga turun hingga potongan payudara. Bagian yang sangat kunanti dari tadi. Kubenamkan mukaku diantara kedua payudara itu, sungguh payudara yang paling lembut yang pernah kurasakan. Tanganku pun tak mau kalah, kuremas payudara kanan dengan tangan kanan, sambil lidahku mulai bermain dengan puting kirinya. Bagaikan buah cherry yang sangat manis, saya mengulum lembut puting itu, sungguh rasanya sangat menggairahkan. Ini yaitu puting paling tepat yang pernah dirasakan bibirku. Merasa sudah menguasai keadaan, saya mulai memainkan ritme permainan. Sesaat kuhisap puting itu lebih dalam, sambil meremas payudara kanannya. Demikian saya bergantian bermain dengan kedua gumpalan menakjubkan itu. Sesaat saya mencoba menyentuh lembut bulat penyangga puting itu dengan telunjukku, sesaat pula sanggup kurasakan puting itu mulai mengeras kencang disertai munculnya bulu-bulu halus yang berdiri diatas kedua bukit indah itu. Sungguh sepasang payudara yang sangat cantik, sangat indah dengan bintik2 bulu roma yang menghiasinya, saya jadi semakin bergairah melihatnya, dan akupun tak mau menyia-nyikan moment ini. Permainan bibirku mulai menjamah potongan perutnya yang rata. Sambil tangan kiriku tetap mencengkeram satu dari dua bukit indah itu, tangan kananku menekan potongan punggungnya perlahan. Tampaknya Bu Chintya benar-benar menikmati permainanku, dan akupun memberanikan diri mengexplore potongan bawah perutnya dengan lidahku. Yah, saya mengecup lembut belly buttonnya dan mencoba bermain sedikit lebih kebawah sana. Menanggapi perlakuanku, Bu Chintya tidak terlalu terlihat keberatan. Dia malah terlihat sangat menikmati dan sedikit membuka pangkal pahanya. Bahasa tubuhnya seolah memberiku ijin untuk beranjak ke potongan itu. Segera saya kembali menurunkan kepalaku. Kali ini saya mencumbu potongan dalam pahanya, tanganku pun kini sudah memegang erat kedua pinggulnya, dan hasilnya saya mulai berani mencium potongan segitiga G-string yang menutupi surganya. Sungguh suatu pengalaman yang tidak pernah akan kulupakan. Aku sedang menghirup potongan paling intim milik Bu Chintya, saya mencicipi sensasi yang paling dahsyat yang pernah kurasakan selama ini. Gairahku semakin menggebu, dan hasilnya kuberanikan diri menyusupkan lidahku ke sela-sela potongan bawah segitiga cinta itu. Tangan kanan ku mencoba menyibak kain hitam itu, dan bibirku mulai mengecupnya perlahan, rasanya sungguh indah, agak terasa asin, tetapi aromanya sangat lembut. Sungguh-sungguh indah. Bu Chintya yang tampaknya sudah sangat pasrah itu hasilnya menyangga kepalaku dengan tangan kanannya. Tanpa berkata apa-apa, dia meraih tali pengait segitiga itu dengan tangan kirinya, dan dengan perlahan dia menurunkan G-String itu dengan tangan kirinya. Aku yang sedang dimabuk gairah pun segera tanggap, kubantu dia menurunkan segitiga bertali itu, dan melepaskannya dari kakinya yang jenjang. Dan dengan segera, menyerupai seorang anak kecil yang sedang dijamu dengan dengan sekotak permen lezat, saya pun segera kembali dengan tempat segitiga yang menakjubkan itu. Kini badan perempuan pujaan itu telah benar-benar telanjang. Aku benar-benar takjub dengan keindahannya, lekuknya yang tepat dibalut dengan kulit yang putih, tipis dan lembut. Ahh,, ternyata Bu Chintya yang kami puja selama ini tidak hanya cendekia dan cantik, ia sangat tepat seutuhnya, sangat terawat. Bagian pangkal paha itu terihat sebagai potongan segitiga yang ditumbuhi dengan bulu-bulu lembut. Tampaknya Chintya sangat rajin mencukurnya. Pun begitu, tepat pada potongan bawahnya, terdapat sekatup bibir mungil berwarna merah muda. Pintu nirwana itu terlihat begitu rapi, hanya terlihat sebagai segaris lubang yang berwarna kemerahan. Tanpa diberi aba-aba, saya pun segera kembali menjamu segitiga cinta itu. Kali ini saya merasa sangat bebas, tidak ada lagi sehelai benang pun yang jadi penghalang. Aku mulai mengecup pelan bibir elok dibawah bulu-bulu tipis itu, dan tampaknya Chintya sangat-sangat menikmatinya, dan akupun menikmatinya. Samar-samar mulai kurasakan aroma wangi yang sempurna, aroma yang mungkin sanggup mengalahkan nikmatnya rasa sabu yang dulu sering kuhisap jaman SMU. Perlahan tapi pasti, saya memagut potongan itu dengan bibirku, kemudian kembali kuhisap perlahan. Dengan sedikit keberanian, tanganku pun mulai turut meraba potongan itu. Kucoba membuka tangkupan dua bibir itu dengan jemariku, dan kulihat terperinci liang berwarna merah muda yang begitu indah. Tampaknya sangat hangat dan nyaman didalam sana. Dan kembali saya memberanikan diri mengeksplore lubang itu dengan lidahku. Kali ini, kucoba memasukkan lidahku kedalamanya dengan dukungan kedua tanganku yang menyingkap pintu cinta itu. Kali ini, saya benar-benar mencicipi aroma yang sangat memabukkan itu, sangat membangkitkan gairahku. Dan dengan segera, saya memainkan lidahku didalam sana, menghisap perlahan, kemudian menghisap kuat, demikian saya mencoba mencari ritme yang tepat dalam menangani bibir terindah ini. Aku mencoba memainkan lidahku dengan maksimal disini, sambil tangan kananku merangsang potongan klitoris Bu Chintya. Dan tampaknya dia sangat-sangat menikmatinya. Setelah sesaat bermain dengan ritmeku, saya mencoba mengubah contoh serangan. Kali ini, bibirku menghisap lembut potongan klitorisnya. Disini lidahku pun turut bermain, kuhisap sambil sesekali menekan potongan itu dengan lidahku. Perlahan tapi pasti, saya kemudian memberanikan diri memasukkan telunjuk kananku yang dari tadi sudah memegang erat kulit berwarna kemerahan itu. Dan, ketika seluruh telunjukku tercelup didalamnya, Chintya tiba-tiba mencengkeram kepalaku dengan tangan kanannyanya yang sedari tadi menyangga kepalaku. Sejenak saya tiba-tiba tersadar, kali ini saya memasuki tempat privatnya tanpa mohon ijin terlebih dulu. Aku sedikit terkejut dan kembali gugup, secara reflek saya segera menarik keluar jariku dari lubang itu, tetapi dengan segera pula Bu Chintya memegang tanganku dengan tangan kirinya. Yak, dia mengijinkan jemariku bermain didalamnya, dan tanpa berkata apa-apa, dia membimbing jari bandel ini masuk kedalam miliknya yang sangat berharga itu. Sungguh saya sanggup melihat raut wajah elok itu yang kini sedang dibara gairah, saya melihat dia sangat menikmati permainanku, dan dengan sigap pula, saya merangsang kembali tempat klitorisnya dengan bibirku, sembari jemariku mencari-cari tempat G-spotnya didalam sana. Tidak butuh waktu usang untuk mendapat area paling sensitif itu. Tak usang jariku bermain disana, Chintya semakin membuka lebar pangkal pahanya. Dia kini tidak hanya mendesah dan menatapku nakal. Bu Chintya sudah tidak malu-malu lagi untuk mengerang. Kaki jenjangnya sedikit ditarik keatas, dia sedikit melipat lututnya, suatu tanda bahwa dia sungguh terbuai dalam permainan jemariku. Pun demikian, saya pun semakin bergairah, saya semakin cepat menggerakkan jariku didalam sana, kutekan berpengaruh pagian G-Spotnya sambil lidahku terus memainkan klitorisnya, jemari dan lidahku kini sudah masuk gigi 5. Aku semakin cepat dan liar bermain dengan lubang cinta itu. Namun tiba-tiba Chintya mengapit erat kepalaku dengan lututnya. Dia menjepit berpengaruh kepalaku sambil tangan kanannya menekannya kedalam. Dan segera setelahnya, saya bisa mencicipi badan itu terguncang, saya bisa merasakan, tubuhnya sedikit kejang, dan,, saya kembali kaget dibuatnya, seiring dengan teriakan yang keras, tiba-tiba dia menggelinjang hebat, jemariku mencicipi ada kedutan andal didalam sana,,, dan tidak putih bening kemukaku. Yess, dia sudah sampai… and she squirt in my face!! dan saya tidak bisa mengelak sama sekali, secara reflek saya meronta mencoba melepaskan kepalaku, tetapi cengkeraman pahanya terlampau kuat, dan hingga ketika ini pula, paha lembut itu masih mencengkeram berpengaruh kepalaku. Aku hampir tidak percaya dengan apa yang kualami, Bu Chintya mencapai puncak dan menyemprot mukaku dengan cairan cintanya memabukkan. Aku sangat terkejut, tetapi bantu-membantu saya sangat menikmatinya. Pun begitu Bu Chintya yang sudah terkulai lemas, saya bisa melihat tubuhnya yang masih sedikit gemetar, wajahnya sangat-sangat erotis, tampaknya dia gres saja mengalami orgasme paling dahsyat yang pernah dirasakannya. ***Aku kemudian beranjak ke sudut ruangan berinisiatif mengambil beberapa lembar tissue, dan mengelap mukaku yang agak lengket, “kamu baik2 saja kan cin?” tanyaku sambil berbaring lagi disisinya “eh,, maaf ya dim, saya sendiri tidak terpikir kalau bakal hingga kaya gitu” tangannya dengan reflek menarik lembar tissue yang kupegang dan segera me-lap potongan pipiku yang ternyata masih sedikit basah. “tidak apa-apa kok, saya juga menikmatinya” “serius,, ini pertama kalinya hingga menyerupai itu, saya benar-benar tidak menyangka hingga menyerupai itu” jawab Chintya sambil memeluk saya erat. Dan akhirnya, malam itu kami melanjutkan sesi bimbingan TA dengan bercerita panjang lebar perihal keseharian kami, perihal keluarga kami, perihal kesibukan-kesibukan kami. Maklum, intinya saya dan Bu Chintya masih belum terlalu mengenal satu sama lain. “jadi, kini mamamu masih tinggal di Jakarta bersama suaminya yang gres itu?” tanyaku menanggapi kisah Chintya. “begitulah” jawabnya pelan. “ooh,, ia punya anak lagikah?” “nggak sih,, cuma ada suatu hal yang dulu bikin saya nggak nyaman tinggal disana” “kenapa??” “well, si om bule itu hypersex.” “heh?? maniak gitu??” “yupss. dan saya pernah tinggal bersama mereka selama 2tahun” “haha.. yang kau ceritakan waktu kau SMU itu ya? Trus, apa kekerabatan antara hypersex dengan ketidaknyamananmu tinggal bersama mereka? Toh si om bule itu kan papa-mu, bukan suamimu?” “yahh,, masalahnya bukan cuma hypersex doang dim. dia juga orang naturist. Kalau dirumah mamaku sana, begitu masuk gerbang udah wajib bugil. Itu berlaku buat semua orang yang tinggal disitu.” “whatsss??? jadi kau juga ikut2an nudis gitu??” “nggak cuma saya honeyy, disana dari sopir nyampe tukang kebon juga bugil semua.” “begitukah?? are u serious??” Aku menyerupai tidak tahu harus menjawab apa lagi. Tampaknya Chintya memang mempunyai pengalaman yang luar biasa dalam hidupnya. Dia banyak bercerita perihal masa lalunya, dan tiba-tiba saya mencicipi tenggang rasa yang sangat dalam, sebuah perasaan seolah tidak terasa lagi ada jarak antara kami. Seolah menyerupai sepasang kekasih/sahabat yang sedang berbaring dan sharing berdua “uhm,, kembali ke masalahmu tadi Cin, emang kalo menurutmu kau trauma dengan masa lalumu, kemudian apa dampaknya di masa sekarang?” saya kembali bertanya mencoba mengenal dosenku itu lebih dekat. “well, kita bahas topik ini lain kali lagi saja ya dim, kau belum dapet kan?” katanya sambil kembali memelukku mesra. Tampaknya dia belum ingin membahas hingga sejauh itu, dan akupun harus menghormatinya “kalau saya sih, asal kau bahagia sudah bisa dibilang dapet kok cin. gue ikhlas” jawabku cengengesan “Dasar verbal buaya!! kini kau sudah berani merayu saya…” sahutnya tersipu sambil mencubit lenganku keras-keras “Ehmn, Dim, kau percaya sama saya kan?” lanjut Chintya sambil meraih laci disamping tempat tidur. Aku tidak menjawab dan hanya mengangguk kecil “okeey,, tangan kau diikat dulu yaa,,” katanya sambil mengeluarkan seutas kain panjang dan mengikat kedua tanganku ke potongan atas tempat tidur. Aku mulai berpikir aneh-aneh, sejenak saya ingin menolak apa yang dilakukan Bu Chintya padaku. Tapi, saya ingin tau juga dengan rencananya, so, ikuti saja deh,, hehe “aku mau diapain hon?” “diem ah,, trust me honey” jawabnya sambil kembali mengecup bibirku. Aku sendiri tidak bisa banyak bergerak dengan kedua tangan yang terikat erat diatas kepala, sedangkan tampaknya bibir janjkematian itu akan kembali mengeksekusi titik-titik lemahku. Perlahan, Chintya menggeser kembali kecupannya kearah leherku, sedikit cupang panjang disana, dan kemudian turun kearah dada. Bagian ini tampaknya potongan yang paling disukainya, lidahnya yang lembut bermain dengan putingku, sambil kedua tangannya mimijit-mijit potongan samping dadaku. Di babak pertama ini saya sudah mulai bisa mencicipi sensasi Chintya. Sebuah teknik-teknik yang gres kutemui dalam bercinta, diselimuti oleh paras yang sungguh-sungguh menggoda. Perlahan, dia kembali menggeser posisi bibirnya, kali ini kecupan-kecupan itu diarahkan kebagian samping dadaku, dan, dia bermain dengan ketiakku. Aku meronta keras, kukatakan padanya bahwa ini keterlaluan, “Geli banget Cin, kau menyiksaku”,, begitu ujarku. Tapi tampaknya Chintya tidak peduli dan terus melancarkan aksinya. Dan ternyata teknik yang satu ini juga sangat mengerikan. Rasa geli yang perlahan bermetamorfosis sebuah rangsangan yang mahadahsyat. Seiring dengan rabaan-rabaan tangannya yang sedikit memijit, Chintya benar-benar kolam seorang sex machine yang istimewa. Selama beberapa ketika Chintya menyiksaku, tampaknya dia sudah cukup puas dan berniat memulai permainannya di potongan bawah. “Sudah panas kan?” katanya sambil sambil tersenyum kecil dan memegang batangku yang sudah berdiri keras. Dan tanpa banyak bicara lagi, dimasukkannya batang itu kedalam mulutnya. Yah, Chintya segera mengulumnya dengan bersemangat, dan dia pribadi memainkan ritme permainan oral terdahsyat yang pernah kurasakan. Sesekali sehabis pengecap hangatnya bermain lincah, dihisapnya batangku kuat-kuat, seolah dia ingin menyedot habis seluruh isinya. Sambil terus bermain-main dengannya, tangan Chintya meraih dua bantal disisi kiri tempat tidur, “diganjal bantal ya dim” katanya sambil menyusupkan dua bantal itu dibawah pantatku. Aku yang sudah merasa keenakan pun pasrah saja, kuangkat pantatku sesuai dengan apa yang diingininya, dan kini, posisiku agak berasa tidak nyaman, punggung dan pantatku terganjal oleh bantal yang tampaknya cukup tinggi. Aku agak heran bantu-membantu apa planning Chintya, tapi kembali lagi, saya pasrah saja. Chintya kemudian mengambil posisi tepat dbawah selakangku, dan kemudian kembali dia memasukan batangku ke bibir mungilnya, tangan kirinya memegang testikelnya dan tangan kanannya memegang pangkal batangku. Aku tidak bisa melihat terlalu terperinci apa yang terjadi disana, tapi saya kembali mencicipi sensasi yang luar biasa. Sejenak setelahnya, saya mencicipi kepala penisku bersentuhan dengan bidang yang sangat hangat dan licin, ketika itu pula kurasakan sensasi yang luar biasa diujung kemaluanku, sembari kudengar Chintya sedikit batuk-batuk dan mengeluarkan penisku dari mulutnya. Dan,, ternyata dia melaksanakan deep throat. Bu dosen satu ini memang gila, dan ini yaitu pengalaman deep throat pertamaku. Dan malam ini Chintya memberiku deep throat tidak hanya sekali, melainkan berkali-kali. Sensasi rasanya benar-benar gila, tampaknya saya hampir ejakulasi dibuatnya. Sesi oral pun berakhir, ketika ini Chintya kembali memeluk aku. Tubuhnya yang gemulai bergelayut mesra diatasku “sekarang hidangan utama yuk,,” begitu bisiknya memanja ditelingaku… Sambil tangan kirinya tetap memeluk leherku, Chintya meraih kembali senjataku dan mengarahkannya kebagian pangkal pahanya yang memang sudah berada tepat diatasnya. Yah, Chintya memasukkan kepala batangku kedalam lubang yang berhias bulu lembut itu, dan tak usang kemudian dengan sedikit menindihku, seluruh batangku telah bersemayam didalam lubang hangatnya. 1001 rasa ingin tau yang selama ini berkecamuk hilang sudah. Kini saya telah mencicipi hangat dan nikmatnya liang itu. Sangat hangat dan rapat, bahkan jikalau batang kesayanganku itu bisa membauinya, kukira dia pun akan terkesima dengan aroma wanginya. Chintya pun memagut bibirku sambil sedikit menggoyangkan pinggulnya, tidak naik turun tetapi memutar perlahan. Wew, bahkan teknik goyanganya pun dahsyat, tidak banyak bergerak, tapi sanggup kurasakan batangku dipijit dengan sempurna. Dan perlahan kusadari, tampaknya pijitan ini tidak hanya bermuara pada goyangan pinggul semata, tetapi tampaknya dinding-dinding kemaluan Chintya turut berperan. Lubang ini menggigit rapat dan sanggup kurasakan sedikit berdenyut teratur, ini juga gres kali ini kurasakan. Hal ini kusadari ketika Chintya beranjak dan menjamuku dengan posisi duduk. Dengan senjataku yang masih tertancap disana, kurasakan pijitan-pijitan lembut itu walau Chintya tidak banyak menggerakan pinggulnya. Dan, saya tidak menyangka bahwa menit-menit kedepan yaitu waktu yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Mungkin bila saya bisa memutar balik waktu, saya akan selalu memutar menit-menit itu sambil mengaktifkan fitur slow motion. Dengan posisinya yang mendudukiku, Chintya kembali menggoyangkan pinggulnya. Kali ini tidak memutar maupun maju mundur, melainkan naik turun. Tubuhnya yang semampai itu seakan menduduki alas trampoline. Sekilas saya merasa miris dengan perlakuannya. Dengan sedikit berjongkok, Chintya menarik pangkal pahanya keatas hingga tiga perempat batang penisku keluar dari sarangnya, dan dengan cekatan pula dia menimpanya kembali. Yah, dia mengocok batangku dengan kencang dengan posisi pinggulnya yang naik-turun tajam itu. Jujur, saya sedikit takut kalau-kalau dia sedikit meleset dan mematahkan senjataku yang sangat berharga itu. Tapi, kekhawatiran itu segera sirna terhapus sensasi yang kembali kurasakan. Chintya memperlakukan senjata yang benar-benar berdiri keras itu menyerupai mainan, menyerupai dildo stainless yang tak punya jaringan syaraf, dan kali ini saya benar-benar ingin mengalah dan memuntahkan cairan cintaku, saya tak kuasa mengimbangi perempuan elok yang tiba-tiba menjadi sangat liar ini. Dapat kulihat terperinci ekspresi mukanya ketika ini, dia tidak hanya sekedar mencoba memuaskanku, dia kembali turn on, dan saya wajib mengimbanginya. Tapi semakin saya melihat wajah cantiknya, semakin ingin rasanya saya mengakhiri permainan ini. Whatever, saya memang tidak bisa melayaninya. Tapi tiba-tiba, Chintya mengakhiri gerakan naik turun yang dahsyat itu. Dia merebahkan tubuhnya, memeluk saya erat, sambil tetap mengocok kencang batangku dengan goyangan pinggulnya super cepat itu. Dan tentu saja pada hasilnya saya segera tewas dan mengakhiri pertahananku. Aku benar-benar tidak tahan dengan perlakuannya, dan kali ini saya benar-benar tak bisa berkutik dan harus mengalah kalah Chintya tengah memelukku erat sambil sambil mengggoyangkan pinggulnya maju-mundur dengan cepat ketika batangku mulai kejang-kejang. Pinggul indah itu bergerak dengan kerasnya seolah penisku hanya mainan tak bernyawa. Dan seiring dengan dengan senjataku yang mulai muntah dan mengaku kalah, ritme goyangan Chintya perlahan-lahan mulai melambat, dan sanggup kurasakan kembali cengeraman pahanya yang mulai bergetar, seiring dengan kedutan ringan yang memijit lembut kemaluanku yang masih tertanam didalamnya. Dan perlahan-lahan, lubang menakjubkan itu mencengkeram penisku sangat erat. Ternyata, Chintya pun mendapat orgasme untuk yang kedua kalinya… Yah, liang hangat itu seakan menyedot batangku dengan kerasnya seiring dengan bobolnya pertahananku. Dan kembali saya menangkap ekspresi muka elok Chintya yang seolah menyampaikan bahwa dia gres saja mendapat orgasme yang hebat. Selama beberapa ketika badan indah itu bergetar lemah diatas tubuhku, dan tak usang kemudian sosok elok itu benar-benar lemas tak berdaya. Perlahan-lahan, Chintya menggeser tubuhnya sambil melepaskan liang terindahnya dari kemaluanku dengan hati-hati. Tanpa berkata apa-apa, dia membaringkan badan indahnya disampingku, dan tak usang kemudian, idola dari segala idola itu sudah terbaring lelap disisiku Dan saya kembali terdiam seakan tidak percaya dengan apa yang sudah terjadi. Aku hanya bisa termangu, mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang terjadi malam ini bukanlah mimpi. Dalam hatiku, terbentu sebuah perasaan yang tidak bisa didefinisikan. Ada sebuah kepuasan yang tidak pernah tertandingi, bercampur rasa tidak percaya yang masih menghantui. Dan hasilnya saya hanya bisa terheran-heran sambil berusaha melepaskan tali yang masih mengikat erat tanganku. Sungguh malam terdahsyat yang pernah kualami.

0 Response to "Bimbingan Birahi Dengan Dosen Baru"

Posting Komentar