Surti Janda Binal Penuh Birahi

 salesman keliling yang setiap mampir ke  kota ini selalu memanggilku untuk memijatnya Surti Janda Binal Penuh Birahi

Surti Janda Sintal Penuh Birahi | Nggak, Mbak Surti. Baru juga selesai keliling. Duduk dulu Mbak, saya mandi sebentar" sahut Jamal, salesman keliling yang setiap mampir ke kota ini selalu memanggilku untuk memijatnya. Ini kali yang keempat saya dipanggilnya. Jamal masuk ke kamar mandi sementara saya duduk di dingklik melepas penat. Kuseka sekitar leher yang berkeringat, kurapikan baju dan rok. Tak usang kemudian Jamal keluar berbalut handuk. Tinggi tubuhnya sekitar 170 cm tidak mengecewakan kekar dan berotot. "Saya permisi basuh tangan ya, Mas," pintaku sambil menuju ke kamar mandi. "Silahkan, Mbak." Selesai basuh tangan kudapati Jamal sudah tengkurap di ranjang tanpa melepas handuknya. Aku mendekat ke penggalan kakinya. "Tumben pakai handuk, Mas?" Tanyaku. Biasanya Jamal pakai celana pendek atau CD. "Anu Mbak, celanaku kotor semua. Tiga hari keliling belum sempat nyuci Eee, biar lebih mudah mijatnya, naik ke ranjang aja, Mbak" kata Jamal. Ranjangnya memang agak besar sehingga susah sanggup memijat dengan yummy kalau tidak naik. Aku naik ke ranjang dan berlutut di kiri Jamal. Mulai memijat telapak kaki, terus naik ke arah betis hingga paha. Ikatan handuk Jamal yang agak kencang menutupi paha agak menyulitkan memijat penggalan itu. "Maaf Mas, handuknya tolong dilonggarkan" Jamal mengangkat perutnya dan membuka simpul handuknya sehingga handuk itu kini jadi longgar bahkan disisihkannya ke samping kiri-kanan hingga menyerupai selimut yang menutup pantat. Aku sanggup mencicipi di balik handuk itu tidak ada apa-apa lagi yang dikenakan Jamal. Jantungku, janda 40 tahunan ini, jadi berdegup agak keras. Tapi saya coba tidak berpikir jelek sebab pernah tiga kali memijat Jamal dan laki-laki itu selalu sopan. Agak hati-hati kupijat penggalan paha dan pantatnya. Beberapa kali handuk itu tergeser hingga kadang kala tak bisa lagi menutupi. Beberapa kali pula kubetulkan letaknya namun sempat pula terlihat pantat Jamal, bahkan ceruk hitam di antara pangkal pahanya. Dadaku jadi berdesir. Bagian pantat ke bawah selesai, kemudian kupijit penggalan pinggang ke atas. Ia menggeser lututnya. "Kelihatannya cape sekali, Mas?" sapaku mencairkan suasana diam. "Iya Mbak. Sudah cape keliling, ordernya tambah sedikit aja. Dagangan kini lagi sepi Mbak," jawab Jamal. "Dagangan batik, Mbak sendiri gimana?" "Sama saja, Mas. Sepi banget. Kalau nggak sepi nggak bakalan saya jadi tukang pijit" "Tapi pijitan Mbak yummy lho" "Ala Mas ini menghina. Saya kan cuma mencar ilmu dari teman-teman" "Bener lo Mbak, kalau nggak masak saya jadi langganan Mbak Kalau malam hingga jam berapa, Mbak?" "Saya nggak terima pijit malam Mas. Pokoknya sebelum maghrib sudah harus hingga rumah. Saya nggak mau bawah umur saya tahu pekerjaan sampingan ibunya. Mereka hanya tahu saya jualan batik di pasar" "Ooo kenapa mesti malu, Mbak?" "Saya sih nggak malu, tapi kasihan kan kalau bawah umur saya tertangkap berair teman-temannya punya ibu tukang pijit? Sudah, kini balik Mas" Jamal memutar tubuhnya, tentu saja handuknya ikut terlibat pantatnya sehingga nampaklah penggalan depannya yang polos. Beberapa ketika sempat kulihat zakar Jamal yang mulai tegang. Buru-buru kubantu Jamal menutupinya, namun tetap saja tonjolan itu membentuk pemandangan yang bikin dadaku berdesir. Bagaimana pun saya tetap perempuan yang beberapa tahun silam pernah melihat hal demikian pada diri suamiku yang telah tiada. Dadaku berdegup semakin cepat, tubuhku agak gemetar. Buru-buru kukonsentrasikan pijatan pada kaki Jamal. "Maaf, Mbak, adikku nggak mau tidur. Kalau lagi dipijat perempuan memang selalu gitu sih Mbak" "Ah, nggak apa, Mas. Biasa laki-laki" Aku coba bergurau. Pemandangan demikian buat tukang pijit perempuan memang bukan hal abnormal lagi. Malah kadang beberapa laki-laki yang sudah tak bisa menahan nafsu memegang tanganku dan menempelkan pada batangannya. Tapi dengan halus saya berusaha mengelak. Satu dua kali kuremas benda di balik celana dalam itu tapi sehabis itu kulepaskan lagi. "Waktu mijit apa pernah dijahilin laki-laki Mbak?" "Kadang-kadang ada sih Mas laki-laki yang nakal" "Nakal gimana, Mbak?" "Yah, maunya tidak sekedar dipijit tapi juga mijit hihihi" "Lalu Mbak juga mau hehehe..?" "Ah, enggaklah Mas, nggak baik. Takut" "Apa ada yang pernah maksa Mbak?" "Iya sih, kasar sekali orang itu. Aku dipeluk-peluknya Ya saya murka dong" "Apa beliau hingga meng anu Mbak?" "Nggak sampailah, Mas Saya buru-buru keluar kamar" Pijitanku hingga ke paha Jamal. Mau tak mau penggalan handuk yang menonjol itu selalu terpampang di depan mataku. Malah kadang tonjolan itu menyerupai sengaja digerak-gerakkan Jamal. Lebih-lebih sewaktu tanganku bergerak di sekitar paha dalamnya dan mengenai rambut-rambut lebat di situ. "Ufhh maaf, ya Mbak terus terang saya jadi terangsang lo setiap dipijit Mbak, Adikku jadi bangun terus" Jamal berterus terang tapi dengan nada bergurau. Hal ini membuatku tersenyum. Aku percaya laki-laki ini tidak bakal berbuat macam-macam, toh sudah tiga kali kupijat tanpa insiden luar biasa. "Nggak apa, Mas. Asal bisa menahan diri saja. Eh, maaf" tanpa sengaja tanganku menyenggol telur dan sebagian penis Jamal sehingga laki-laki itu mendesis sambil mengangkat pantat dan menegakkan adiknya sehingga handuknya tergelincir ke arah perut. Batang keras kaku itu segera saja menciptakan mataku agak terbelalak sebab ukuran panjang dan besarnya yang agak luar biasa. Mungkin sekitar 20 cm dengan diameter 3 cm. Cepat kututup dengan handuk namun bayangan benda itu di benakku tak kunjung hilang. "Kalau saya nggak bisa nahan diri gimana, Mbak?" "Jangan bikin saya takut ah, Mas" Aku menekan dada Jamal dan mulai memijat ke arah pundak. Mata kami bertatapan dan Jamal tersenyum. Aku buru-buru menunduk. "Sebenarnya Mbak nggak cocok jadi tukang pijit lo" "Kan sudah saya bilang ini terpaksa Mas, sebab dagang batik tambah sepi" "Eh, Mbak, saya tanya serius nih, tapi maaf ya sebelumnya" "Tanya apa Mas?" "Kalau Mbak lagi mijit laki-laki yang sedang terangsang kayak saya gini, apa Mbak nggak ikut terangsang?" "Ah eh oh Mas ini kok tanya itu sih" "Aku serius pingin tahu lho Mbak Soalnya Mbak kan juga perempuan yang masih butuh seks kan? Apalagi Mbak sudah menjanda beberapa tahun" "Sudah ah Mas, jangan tanya soal itu" "Jujur sajalah Mbak Aku nggak yakin Mbak sudah mati rasa sama seks. Iya kan?" Aku diam saja, cuma pipiku terasa panas. Pijatanku di penggalan dada jadi melemah dan tanganku bergeser turun ke perut Jamal. "Iya kan, Mbak?" Mendadak Jamal semakin berani dengan memegang kedua tanganku yang sedang memijit perutnya. Kuangkat kepala dan coba menentang tatapan Jamal sambil berusaha menarik tangannya. Tapi pegangan Jamal begitu kuat, jadi saya pilih diam. "Akh saya malu Mas.." "Malu kenapa Mbak?" "Masak soal gituan dibicarakan sama Mas?" "Nggak apa kan Mbak. Kita kan sudah sama-sama dewasa." Jamal tetap memegangi tangan. Aku diam saja dengan wajah menunduk. Pada dasarnya saya memang pemalu. "Mbak lihat sini dong" "Kenapa, Mas?" "Terus terang nih ya, saya pingin memeluk Mbak, boleh nggak?" Aku terjengak mendengar seruan Jamal. Tak bisa bersuara. Perlahan Jamal bangun dan duduk mendekatiku, dipegangnya punggungku. Katanya, "Sudah semenjak pertama ketemu dulu saya ingin sekali memeluk. Boleh kan, Mbak?" Tanpa menunggu jawaban, Jamal semakin berpengaruh memeluk punggungku dan menarik ke arah dirinya. Aku yang dalam posisi bersedeku jadi kurang berpengaruh bertahan sehingga mau tak mau tubuhku tertarik ke tubuh Jamal. Hanya tanganku saja yang coba menahan supaya tubuh tidak terhempas ke tubuh Jamal. "Jangan, Mas" Tapi saya tak berdaya menahan ambruk tubuhku ketika Jamal kembali menjatuhkan tubuhnya ke ranjang sambil tetap memeluk. Tubuhku menimpa tubuhnya yang segera menguncikan pelukan ke tubuh sintalku tambah ketat. Wajah kami demikian dekat. "Aku hanya ingin pelukan begini kok Mbak," Jamal berbisik dan ia memang tidak melaksanakan apa-apa lagi selain memeluk tubuhku di atasnya. Aku jadi bingung, mau berontak atau tidak? "Ah, biarkan saja dulu, toh beliau tidak melaksanakan apapun selain memeluk" pikirku sambil berusaha lebih santai. Toh saya pernah mengalami perlakukan lebih kasar dari ini. Aku pernah ditindih laki-laki yang kupijat dan diremas-remas tetekku. Beberapa lagi malah memaksaku mengonani hingga laki-laki itu terjelepak lemas sehabis ejakulasi. Perlakuan Jamal yang kini ini hanya memelukku termasuk lembut. Entah kenapa dengan laki-laki ini saya tak banyak memberontak. Apa sebab saya diperlakukan dengan halus? Atau sebab saya menyukai Jamal? Atau? Ah, tiba-tiba saya mencicipi bibirku cuek sebab menyentuh sesuatu. Kubuka mata dan ternyata Jamal tengah mencium bibirku. Ufh saya segera menggelengkan kepala menghindari bibir Jamal. Namun bibir laki-laki itu dengan gigih mengejar, bahkan tangan kanannya ikut membantu menahan kepalaku hingga tak bisa menggeleng lagi. Aku pilih mengatupkan lisan dan mata rapat-rapat ketika bibir Jamal menggerayangi. Lidah laki-laki itu berupaya menerobos masuk, tapi kutahan dengan katupan gigi. "Buka bibirnya dong, Mbak" bisik Jamal. Aku menggeleng sambil berusaha mendorong tubuhnya ke atas. Namun Jamal menahan tubuhku dengan berpengaruh malah kini kakinya ikut melibat pahaku dan tubuhnya bangun mendorong tubuh kenyalku hingga terbalik. Sekarang gantian saya telentang sementara tubuh polos Jamal di atasku. Bibir Jamal terus memburu bibirku. Dengan posisi di bawah ruang gerakku semakin sempit. Kecapaian menciptakan perlawananku kendor. "Jangan, Mas" bisikku lemah. "Nggak apa-apa, Mbak, saya cuma ingin ciuman" Desis Jamal sambil bibirnya terus memaksa bibirku membuka, sementara lidahnya pun menembus katup gigiku. Rasa takut, malu, murka dan gundah melandaku. Aku takut Jamal memaksa, memperkosaku. Aku juga malu sebab sebagai janda tidak seharusnya diperlakukan begini. Aku ingin murka namun tak berdaya dibanding tenaga Jamal. Aku jadi gundah mau bertindak apa. Dadaku yang membusung pun jadi sesak ditindih tubuh kekar Jamal. Dengan nafas agak memburu, saya kesudahannya tak bisa lagi mempertahakan katupan gigi. Kubiarkan pengecap Jamal menerobos menjilati langit-langit mulutku. Bibir kami berpagutan semakin ketat. Air liur dan ludah pun membanjir dan mau tak mau ada yang tertelan. Jamal benar-benar menggila dengan ciumannya. Sepuluh menit lebih ia mencium, menjilat, menyedot lidahku tanpa lepas. Akibatnya, saya jadi ikut terbawa iramanya. Aku yang janda ini lama-kelamaan ikut mengimbangi tingkah Jamal. Ya, saya yang melihat Jamal tidak melaksanakan hal lain kecuali mencium, kesudahannya membalas ciuman hot Jamal. "Ah, biarlah, toh Jamal hanya pingin berciuman. Tidak lebih" pikirku sambil lidahku memasuki rongga lisan Jamal, dan mendadak disedot dengan berpengaruh oleh Jamal menyerupai hendak ditelan.aku jadi gelagapan. Agak usang barulah Jamal melepaskan lidahku, kemudian beralih menciumi sekujur wajahku. Dari mata, hidung, pipi, dahi, telinga, sekitar leher, dagu hingga kesudahannya balik lagi ke bibir manisku. Selama setengah jam lebih saya hanya manda saja diciumi laki-laki yang menurutku tidak berniat jelek ini. Ya, dibanding pria-pria lain yang pernah memaksaku, Jamal tergolong lembut. Dan entah kenapa, ada rasa suka dengannya. Apa sebab kegantengannya, apa sebab usianya yang masih muda, atau sebab saya memang butuh sentuhan lelaki sehabis beberapa tahun ini tak lagi kurasakan?Bahkan, saya hanya mendesah "Jangan, mas" ketika mencicipi jemari Jamal mulai meremasi payudaraku yang masih menantang ini. Namun saya tak berusaha memberontak. Toh Jamal hanya meremas dari luar, pikirku. Sementara bibir laki-laki itu terus melumati bibirku. Tangan itu terus bergerilya, satu persatu kancing bajuku dilepasnya. "Jangan, mas" Desisku lagi tanpa menolak dengan serius. Toh, saya masih pakai BH, pikirku. Ugh, BH itupun diremas tangan Jamal berkali-kali. Kadang membuatku sakit, namun juga memberi rasa lain yang nikmat. Mataku malah terpejam erat ketika jemari Jamal bergerilya di bawah BH dan menggapai putingku. "Egh jangan, mas" Aduuh nikmatnya. Toh, beliau hanya memainkan payudaraku, tak apa-apa, pikirku semakin menikmati. Aku justru hampir tak merasa ketika baju dan behaku sudah dilempar Jamal entah kemana. Yang terasa kemudian ialah payudaraku kiri-kanan bergantian diremas dan dihisap Jamal. Digigit-gigit, dikemot, disedot, "dimakan", dimainkan putingnya oleh pengecap yang lihai dan tubuhku semakin tergial-gial ketika perut pun ditelusuri pengecap berbisa Jamal. "Aduh, saya tak tahan. Tak apa, toh Jamal hanya menjilati perutku" pikirku lagi mendapatkan perlakuan nikmat itu. Malah tanganku kini ikut meremasi kepala Jamal yang terus turun dan turun mencapai pusarku. Menjilati pusarku yang berlubang kecil, kemudian meluncur turun lagi, menciptakan geli sekaligus nikmat. "Jangan, mas" lagi-lagi saya hanya bisa mendesiskan kata itu ketika terasa rok panjangku perlahan tertarik ke bawah. Karet lentur di penggalan perut tak bisa menahan tarikan itu, apalagi saya berpikir, "Biar saja, toh saya masih pakai celana dalam" Sekarang tinggal segitiga pengaman melekati tubuh polosku. Terasa pahaku dikangkangkan dan sesuatu terasa mengelus-elus tempat vitalku. Sesaat kemudian saya kembali merasa tubuhku ditindih Jamal yang menekan-nekankan penisnya ke CD-ku. Mulut kami berpagutan lagi. Tangan Jamal meremas-remas payudara lagi. "Aduh saya tak tahan lagi" Kubalas perlakuannya yang liar dan saya tak bisa lagi mendesis, "Jangan, mas" ketika dengan cepat tangan Jamal menyabet CD hitamku dan melorotkannya ke bawah terus melepasnya dari kakiku. Lalu sejurus kemudian kurasakan sesuatu yang panjang besar memasuki gua garbaku. Mula-mula perlahan dan agak sulit, menyakitkan. Namun lama-lama semakin dalam, kemudian semakin cepat dan cepat keluar masuk, naik turun. Disertai lonjakan-lonjakan tubuh kekar di atasku yang memaksa pahaku terkangkang selebar-lebarnya. Rasa sakit pun berubah jadi nikmat. Aku lupa segalanya, tak ingat siapa laki-laki yang sedang menyetubuhiku. Jamal, salesman keliling, yang katanya berasal dari Bandung kubiarkan menyebadani, menggauli, menyenggamai, menembus, mengocok dan menggumuli tubuhku. Aku terlena dan yang ada hanya rasa nikmat yang harus kunikmati sepuasnya. Mumpung ada kesempatan, mumpung ada yang memberi, mumpung saya butuh, mumpung saya haus, mumpung ada yang memuasiku. Tubuhku masih butuh seks, libidoku masih tinggi, bibirku masih butuh diciumi, payudaraku butuh disedot-sedot, vulvaku butuh penis yang tegar panjang perkasa. Aku masih punya nafsu seks yang harus dipenuhi. Aku tak mau hidup gersang. Dan, saya pun masih bisa orgasme ketika hunjaman zakar Jamal yang bertubi-tubi mencapai klimaks. Genjotan pantatnya begitu berpengaruh menciptakan penis itu terbenam dalam-dalam di vulvaku yang sempit. Nikmat bertemu nikmat dan jreet jreet jreet kurasakan sperma Jamal menyemprot, sementara hampir bersamaan saya cepat-cepat menggamit paha Jamal sambil mengejan menumpahkan mani. Tubuh kami terkejang-kejang kelojotan sambil mengejan menggelegakkan sperma dan mani bertubi-tubi. Kedua kelamin kami yang bertemu saling berdenyut-denyut, meninggalkan kesan mendalam sehingga kami usang tidak melepaskannya. Kubiarkan burung Jamal itu tetap mendekam di sarangku meski lendir membasahi di mana-mana. "Maaf ya, mbak, saya lupa diri," bisik Jamal. Aku diam memejam, nafasku tersengal-sengal menahan beban tubuh polos di atasku. Sementara penis Jamal masih terbenam, saya hanya bisa kangkangkan paha dan mencicipi denyut-denyutnya yang masih tersisa. "Mengapa ini terjadi?" Aku membatin tak habis mengerti bagaimana persetubuhan ini berlangsung begitu saja, padahal selama jadi pemijat saya selalu menghindarinya. Ya, selama ini ada cap bahwa setiap perempuan pemijat niscaya bisa diajak main seks. Aku berusaha keras menepis sebutan itu, namun kesudahannya bobol juga hari ini. Justru dengan Jamal, laki-laki yang sudah jadi langganan. "Kalau sudah begini, apa bedanya saya dengan pelacur?" Aku masih terbengong-bengong dengan pemikiranku, ketika kembali terasa tubuh Jamal menekan-nekanku. Zakar laki-laki itu pun kembali membesar panjang mengaduk-aduk vulvaku. Ya, ternyata Jamal dengan cepat bangun birahiya lagi dan bangunlah "adik"nya yang perkasa itu, kembali menikam-nikamku yang perlahan-lahan kembali terbawa arus kenikmatan. Malah ikut mengerang ketika nikmat bersebadan itu menyeruak di vaginaku. Tak ingat lagi, apakah saya pelacur atau bukan. Yang penting ketika ini saya butuh nikmat! Persenggamaan pun terulang lagi, kali ini malah lebih lama. Hampir satu jam Jamal menusuk-nusukku, menghunjamiku dengan super torpedonya. Kadang pantatku diangkatnya atau saya yang mengangkatnya secara refleks sebab terbawa nikmat tiada tara sehabis beberapa tahun saya tak merasakannya. Sepertinya saya ingin memuntahkan seluruh kerinduan persetubuhan. Aku kembali menggapit paha Jamal, ini kali yang ketiga saya orgasme. Tubuhku mengejang terlonjak-lonjak. Jamal sendiri memang tahan usang dan gres beberapa menit kemudian melenguh mengeluarkan energi terakhirnya menyemprotkan sperma. Sampai kurasakan hangat cairan itu memasuki perut. Kami benar-benar habis-habisan. Untuk berdiri pun harus menunggu beberapa menit sehabis deru nafas mereda. Jam enam kurang sedikit kutinggalkan hotel Melati. Jalanku menyerupai melayang, tak peduli dua lembar ratusan ribu yang gres saja masuk ke dompet, santunan Jamal. Aku tak bisa menolak, tapi "Semoga Jamal tidak menganggapku pelacur murahan" pikirku. "Kami melakukannya suka sama suka" Kupanggil becak untuk mengantar ke rumah. Itulah yang menjadi awal kisahku selanjutnya yang lebih mengejutkan sebab saya kemudian terperosok ke jurang perzinahan yang lebih dalam dengan orang-orang yang semestinya kupeluk dengan kasih sayang. Namun, sebaliknya, justru merekalah yang kesudahannya memelukku dengan nafsu. ***** "Sampai malam begini, Laris bu?" sambut Bari, bungsuku yang kelas 3 SMU, ketika saya datang di rumah. "Lumayan" jawabku. "Ini Ibu bawakan gorengan" kuberikan sebungkus masakan kemudian terus berjalan ke kamar. Banu, abang Bari, mengangkat bungkusan batikku dan menaruhnya di atas lemari. Ia sudah empat bulan ini dipehaka dari pabrik sepatu di Tangerang bersama Basuki kakaknya. Jadilah tiga cowok tanggung anakku kini jadi pengangguran dan kembali bergantung padaku di rumah. Ya, semuanya terjadi gara-gara krisis di negeri ini. Banyak perusahaan gulung tikar, pehaka terjadi dimana-mana. Cari pekerjaan pengganti juga sulit bukan main. Mau perjuangan sendiri, tak ada modal. Hanya kadang mereka jadi makelar jual-beli motor tapi inipun hasilnya cuma cukup buat jajan. Seusai mandi dan makan, saya ingin cepat-cepat tidur. Tubuh cape sekali sehabis tadi bertempur habis-habisan dengan Jamal di Hotel Melati. "Ibu tidur dulu ya" kataku pada ketiga anakku yang sedang asyik main kartu. Aku masuk ke kamar belakang. Rumah itu memang hanya mempunyai dua kamar. Sejak dua anakku dipehaka maka satu kamar depan untuk Banu dan Basuki dan satunya di belakang untukku dan Bari. Kumatikan lampu kemudian kubaringkan diri melepas penat. Bayangan pergumulanku dengan Jamal ternyata tak kunjung hilang dari benak. Setengahnya ada rasa penyesalan, namun sebagian lain justru rasa nikmat itu terus bergelenyar di dadaku, di peruku, di kulitku, di vulvaku. Tak usang kemudian saya pun terlelap, ada seulas senyum di bibirku. Akankah di mimpi saya berjumpa Jamal lagi? Ya, ternyata harapanku jadi kenyataan. Jamal muncul lagi di mimpiku. Kami bercumbu bagai sepasang kekasih yang usang tak bertemu. Tubuh telanjangku dibaringkannya di ranjang, kemudian beliau merangkak di atasku. Menjilati sekujur tubuh dari perut naik terus hingga bibirku dan kesudahannya agh, terasa sesuatu menusuk bawah perutku dengan keras dan tubuhku ditekannya dengan keras. Tubuhnya terasa semakin berat, berat, berat dan argghh! Aku terbangun, dan.. mendapati sesosok tubuh sedang menindihku. Kurasakan selangkanganku telah ngangkang dan sesuatu memasukinya. Kubuka mata memperhatikan dan dalam sinar lampu yang masuk dari ventilasi terlihat Bari sedang menyetubuhiku! Gila!! "Bar! Bari! Ini aku, ibumu, Bar!" protesku pada bungsuku yang masih 18 tahun sambil mendorong tubuhnya hingga terjengkang ke luar ranjang. Sekilas terasa penisnya yang tegang keluar dari vaginaku. Aku segera duduk di ranjang dan kututup tubuh telanjangku dengan selimut sambil memperhatikan Bari yang nampak ketakutan. "Kenapa kau lakukan ini, Bar?" tanyaku emosi. "Ttt ta tadi Ibu sendiri yang mulai" "Apa? Ibu yang mulai?!" saya tambah sewot tapi tidak berani teriak keras-keras takut dua anakku yang lain terbangun. "Bukankah Ibu tadi sudah tidur?" "I..iya Bu tapi Ibu menyerupai mengigau kemudian memelukku" bisik Bari. Aku yang mendengar penjelasannya jadi mendelong. Sekilas saya ingat mimpiku bersama Jamal. "Ibu terus memelukku dan ak saya jadi terangsang, bu.." Bari terus terang sambil menunduk. Sementara saya masih bertanya-tanya benarkah itu? "Ceritakan apa yang sudah kulakukan padamu, Bar?" Sambil kutarik tangannya ke atas ranjang. Bari berdasarkan sambil menutupi penisnya dengan sarungnya. Kududukkan ia di sebelahku. "Waktu saya tidur, kudengar Ibu mengigau menyerupai orang gelisah dan tubuh Ibu bergerak-gerak. Lalu mendadak Ibu memelukku dan" Bari diam, saya pingin tahu kelanjutannya. "Lalu?" "Ibu menciumi aku" "Apa benar?" "Sumpah, bu." Jawabnya, membuatku jadi salah tingkah. "Sebenarnya saya sudah berusaha membangunkan Ibu tapi gagal. Malah saya jadi terangsang Apalagi daster Ibu juga tak karuan lagi letaknya hingga paha Ibu terbuka" "Aku tambah terangsang waktu tersenggol payudara Ibu berkali-kali dan terangsang untuk meremasnya Aku tambah berani ketika Ibu hanya mendesis waktu kuremas, hingga kesudahannya pelan-pelan, maaf, Ibu kutelanjangi. Maaf Bu, nafsuku, sudah hingga ke kepala hingga saya menyetubuhi Ibu" dongeng Bari sambil menunduk. Aku terdiam, tak percaya apa yang kulakukan di dalam mimpi ternyata jadi kenyataan. Sialnya, saya telah bersetubuh dengan darah dagingku sendiri. Akhirnya akupun mendapatkan klarifikasi Bari. "Baiklah, Bari. Ini jadi rahasia kita berdua saja. Sekarang tidurlah kembali," pesanku. Bari segera melingkar di bawah sarungnya. Akupun kembali berbaring sambil berselimut. Kami berdiam diri saling memunggungi. Begitu mengejutkan insiden tadi hingga saya tak ingat untuk menggunakan dasterku lagi yang entah dilempar kemana. Begitu pula Bari hanya bertelanjang di dalam sarungnya. Namun rasa capai mempercepat tidurku. Dan, mungkin, inilah salahku sebab menganggap sepele insiden ini. Aku menganggap ini insiden kecil dan sudah berakhir, namun tidak demikian dengan Bari. Pemuda tanggung ini ternyata tetap memendam hasrat. Kuceritakan yang berikut ini berdasarkan pengakuannya sehabis segala sesuatunya terjadi. Malam masih panjang. Aku telah tidur kembali. Sementara itu, Bari justru tetap nyalang matanya. Tak ada lagi kantuk di benaknya. Yang ada justru ingatan bagaimana tadi beliau gres saja menyetubuhi ibunya. Sayang, belum tuntas. Namun, kesempatan itu kayaknya masih terbuka, sebab tubuh yang barusan digelutinya itu masih tergolek di sisinya. Telanjang dan hanya berselimut lurik. Andai saja selimut itu bisa dilepas, niscaya bisa tuntas hasratku, pikir Bari. Setelah terdengar dengkur halus ibunya, Bari mulai berani membalikkan tubuhnya hingga telentang. Diliriknya tubuh di samping kirinya dan tubuh Bari bergetar ketika melihat sebagian punggung atas ibunya tidak tertutup selimut. Sementara kain sarungnya sendiri yang hanya menutupi sekitar perut dan paha tak bisa menyembunyikan gejolak syahwat yang menciptakan zakarnya tegang berdiri. Dengan tak sabar dilemparnya sarung ke bawah ranjang hingga dirinya bugil, kemudian perlahan berguling lagi hingga ia kini menghadap punggung ibunya. Didekatinya tubuh bungkuk udang ibunya dari belakang hingga anyir perempuan itu tercium kian merangsangnyaIngatannya ketika bagaimana beliau meremas tetek ibunya tadi membuatnya berani menarik ke bawah selimut yang menutupi punggung mulus itu. Perlahan punggung itu kini terbuka hingga ke pinggang dan otomatis niscaya penggalan depannya pun terbuka polos pula. Teringat bagaimana tadi ia memeluk ibunya, perlahan Bari melingkarkan tangan memeluk ibunya dan merapatkan zakar ke pantatnya. Kulit dadanya bertemu kulit punggung ibunya, tangan kanannya memeluk perut ibunya dan perlahan jemarinya merambat ke atas. Menggapai dua gunung kembar yang membusung itu. Sementara itu kaki Bari tak tinggal diam membantu menarik selimut ibunya ke bawah. Terus ke bawah hingga paha-paha mulus gempal itu tak tertutup lagi. Maka bugillah kedua ibu dan anak itu. Tidur berdekapan. Satu terlelap, satunya bernafsu. Tak sabar, Bari mulai mengelus dan meremas pelan payudara semok mulus itu. Tangannya agak gemetar ketika menyentuh puting dengan ibu jari dan telunjuknya. Ditempelkan zakar ke pantat ibunya yang cukup besar. Dibiarkannya posisi itu bertahan hampir 30 menit. Dan ketika ibunya tetap lelap tertidur, Bari semakin berani. Sambil akal-akalan menggeliat, perlahan ditariknya pundak dan paha ibunya hingga tubuh perempuan itu telentang. Kemudian dengan penuh nafsu buah dada yang menggunduk itu dijilatinya. Dikuaknya selangkangan si ibu kemudian perlahan mengarahkan zakar ke gua nikmat itu. Tak mau gegabah dan terlalu kasar menyerupai tadi, kini Bari melakukannya dengan halus. "Bleess" ditancapkan zakar dalam-dalam ke vagina ibunya kemudian pantatnya diam. Tidak menekan terlalu keras. Malah lidahnya mulai menyusuri tetek dan dada ibunya hingga mencapai bibir dan menciuminya sambil tangannya meremasi susu semok itu. Aneh benar, Surti, ibunya, tetap tertidur, seolah tak mencicipi apa-apa. Mungkin ia terlalu penat sebab cape bergelut dengan Jamal tadi siang dan tidur yang terpotong barusan. "Eeehhghh.." Surti mendesis lirih ketika pengecap Bari memasuki mulutnya, namun matanya tetap terpejam. Hanya tubuhnya saja bergeser kecil dan Bari memberinya ruang dengan sedikit mengangkat badannya sehingga tidak terlalu memberati Surti. Setelah ibunya tenang, kembali Bari menumpangkan tubuh di atas tubuh bugil Surti. Perlahan ia mulai memompakan zakarnya. "Shleeb.. shlebb.. jleeb.. jleebb.." berhenti kemudian sambil menekankan zakarnya di kemutnya puting Surti. "Egghh eggh..," desis Surti sambil menggerakkan tubuhnya sedikit namun tetap tidur. Anehnya lagi, Bari merasa zakarnya menyerupai ada yang menghisap-hisap. Nikmaat dan membuatnya cepat mencapai puncak. Buru-buru Bari memompa lagi cepat-cepat, dan kini ia tak peduli kalau ibunya bakal bangun sebab gerakan kasarnya. "Heeh.. heeh.. heeh.." nafas Bari memburu ketika ia menggerakkan pantatnya dengan gencar naik turun keluar masuk menusuk-nusuk lahan Surti sambil memeluki ketat tubuh ibunya itu dan mencium ketat bibirnya yang menggairahkan. Otomatis diperlakukan demikian Surti terbangun, namun terlambat Dalam keadaan belum sadar benar, mendadak Surti mencicipi tubuh di atasnya mengejang-ngejang belasan kali dan terasa semprotan-semprotan sperma di rahimnya. Barulah tubuh itu terjelepak layu menindihnya. Surti segera mendorong tubuh itu dan ia segera sadar bahwa Bari telah berhasil merampungkan nafsu di atas tubuhnya. "Ooh Bari.. Bari kenapa kau tega menodai ibu?" ratap Surti sambil menangis dan memukuli tubuh Bari yang hanya diam diam memunggunginya. Beruntung suasana kamar gelap sehingga mereka tidak sanggup melihat kondisi masing-masing. Bayangkan betapa malu bila mereka saling bertatapan mata. "Ma.. maafkan saya, bu. Sss..saya benar-benar khilaf tidak bisa menahan nafsu" jawab Bari lirih. Pelan ia berbalik dan menyelimuti tubuh telanjang Surti. Kemudian turun dari ranjang, menggunakan sarungnya dan melangkah keluar kamar. Dicarinya air cuek di dapur. Surti sendiri dalam isak tangisnya kembali merebahkan diri. Tak tahu harus berbuat apa pada anak bungsunya itu. Mau dimarahi? Toh ini sudah terlanjur terjadi. Mau diusir dari rumah? Ia tak tega. Ia meratapi dirinya telah tertidur begitu pulas hingga tak merasa sedang disetubuhi anak kandungnya sendiri. Kenapa ia tadi begitu ceroboh dan menganggap sepele insiden perkosaan yang pertama? Sampai tak memperhitungkan bahwa Bari ternyata nafsunya tetap berkobar-kobar. Pemuda seumur Bari memang sedang panas-panasnya. Nafsunya cepat naik. Apakah sebaiknya mereka tidak tidur seranjang? Bari biar tidur dengan kakaknya saja. Tapi ranjang kamar depan terlalu sempit untuk bertiga. Apakah ia perlu tukar tempat dengan Banu? Namun sehabis memikirkan bahwa Banu pun mungkin juga akan terangsang nafsunya bila tidur bersamanya (ini nampak dari bahasa tubuh Banu dan Basuki, si sulung, yang selama dirantau berdasarkan dugaan Surti niscaya pernah bekerjasama dengan wanita) maka Surti tetapkan tetap tidur sekamar dengan Bari. Biarlah insiden ini hanya kami berdua yang tahu, pikirnya. Setengahnya ia juga menyalahkan diri dikarenakan telah merangsang Bari secara tak sengaja ketika tadi mimpi bersetubuh dengan Jamal. Sambil merenung-renung insiden yang menimpa dirinya dan Bari, Surti mulai bisa memaklumi tindakan Bari. Ternyata anak bungsuku sudah cukup umur dan bisa melaksanakan kewajibannya sebagai lelaki, bathinnya. Perlahan mata Surti kembali terkantuk-kantuk. Masih sekitar jam 2 dini hari. Sementara itu Bari yang usai minum air cuek duduk melamun di dapur, mengenang apa yang gres saja dilakukan atas tubuh ibunya. Barusan ia juga telah mencuci zakarnya dengan air cuek hingga benda lunak itu mengkerut lagi. Rasa kantuk yang menyerang membuatnya beranjak kembali ke kamar tidur. "Biarlah kalau ibu mau murka lagi," pikirnya pasrah. Perlahan Bari membuka pintu, masuk kemudian menutupnya lagi. Ternyata Surti telah tidur kembali. Kali ini ia malah telentang dan lagi-lagi hanya berselimut lurik. Bari mengambil sedikit tempat di pinggir untuk merebahkan tubuhnya. Sekilas diliriknya wajah ibunya dalam gelap, hanya nampak siluet wajah seorang perempuan yang belum renta benar. Namun tetap menarik. Bari coba memejamkan mata dan tidur. Tanpa sadar ternyata ia juga tidur hanya berbalut sarung yang melingkari penggalan perut ke bawah.Cukup usang cowok tanggung ini berusaha tidur sewaktu tanpa diduga Surti mengerang dan menggeliat ke arah dirinya. Bari gelagapan ketika tangan Surti justru memeluknya. Dan tubuh Bari kembali berdesir sebab dada semok ibunya menekan dadanya meski masih terhalang selimut. Ini merupakan rangsangan andal buat Bari, namun ia tak mau gegabah menyerupai tadi. Ia tak mau insiden tadi terulang. Maka ia harus bisa menahan nafsunya. Kami boleh pelukan tapi zakarku tak boleh tegang, bathinnya. Dengan prinsip itu kesudahannya Bari memberanikan diri balas memeluk ibunya. Malah lebih dari itu, lagi-lagi Bari melempar sarungnya yang mengganggu gerakan paha dan kakinya hingga bugil. Perlahan ia masuk ke dalam selimut ibunya dan balas memeluk tubuh bugil semok semok itu. Ibu dan anak itu pun tidur berpelukan. Kali ini Bari hanya menempelkan zakarnya di paha Surti dan bertahan sekuat tenaga supaya tidak ereksi. Beruntung matanya terasa sangat berat sehingga tak usang kemudian ia pun tertidur berpelukan dengan ibunya. Udara panas dini hari itu menciptakan tubuh mereka berkeringat. Sekitar pukul empat pagi, menyerupai kebiasaannya, Surti terbangun. Lagi-lagi ia hampir terkejut mendapati dirinya telanjang berpelukan dengan Bari yang bugil. Selimutnya tak cukup lebar menutupi tubuh mereka berdua hingga yang tertutup mudah hanya sekitar pinggul saja, sedangkan penggalan lain benar-benar terbuka. Surti ingin mendorong tubuh Bari, namun ia segera menyadari bahwa Bari ketika itu sedang tidur nyenyak. Ia jadi tak tega sehingga dibiarkannya posisi tubuhnya yang telentang sementara Bari menindih sambil memelukkan tangan dan satu kakinya berada di sela-sela paha Surti. Surti agak hening sebab tidak mencicipi zakar Bari ereksi. Yang menggelisahkan justru tangan Bari yang menelangkupi buah dada kirinya serta ketelanjangan mereka. Bagaimanapun ia masih normal dan ukiran kulit dengan kulit demikian malah menjadikan rangsangan yang perlahan menggelitikinya syahwatnya. Surti semakin tak tahan dan berusaha menggeser tangan serta menjauhkan tubuh Bari perlahan supaya ia tak bangun. "Eee," terdengar bunyi erangan Bari yang merasa tidurnya terganggu. Ia malah tak mau melepaskan pelukannya, justru sedikit meremas buah dada Surti, menciptakan Surti mendesis. "Bari, lepaskan Ibu mau bangun" bisik Surti ke pendengaran Bari sambil mendorong lebih kuat. "Eee.. sebentar, Bu" desis Bari sambil mempererat pelukannya, menaikkan tubuhnya dan mengulum puting Surti. "Sudahlah, Bari jangan diulang insiden semalam" Surti menjangkau kepala Bari sambil menggigit bibir menahan gejolak syahwat yang berputar di pusarnya. "Ibu tidak marah?" desis Bari lagi dengan mata masih setengah terpejam. "Tidak, Bar kini sudahlah, nanti kau terangsang lagi" Perlahan Bari menggeser tubuhnya menjauhi ibunya. Ia melanjutkan tidurnya, sementara Surti segera bangun, mencari dasternya yang tercecer di lantai dan mengenakannya sebelum beranjak keluar kamar. Sekilas diliriknya tubuh bugil Bari. "Ia ternyata sudah dewasa" bathinnya. Dan, semenjak itulah saat-saat tidur bersama seranjang dengan Bari mulai memasuki babak baru. Surti tak bisa menolak manakala Bari dengan manja memeluknya, menindihnya, bahkan dengan bandel meremasi teteknya atau malah memaksa Surti membuka dasternya dan menetek menyerupai anak kecil. Bagi Surti sendiri pelukan, tindihan, kuluman dan hisapan-hisapan Bari di sekujur tubuh dan buah dadanya sungguh merupakan rangsangan yang sulit dihindari. Ia tak bisa menolak itu semua, bahkan seolah memberi izin Bari melakukannya setiap malam. Ya, setiap malam kini ia harus mendapatkan perlakukan seksual Bari yang tak kenal lelah. Pemuda tanggung yang tengah panas-panasnya ini menyerupai menerima mainan gres yang menggairahkan. Kini Bari tak segan lagi bertelanjang di depan ibunya, bahkan seringkali ia ikut menelanjangi Surti hingga hanya tersisa CD. Bari tak segan lagi menyuruh Surti memegang zakarnya dan mengocoknya. Sementara tangannya sibuk memerah tetek Surti bahkan tak jarang coba mengelus-elus lubang nikmat Surti meski dari luar CD. Merasa sudah kepalang basah, Surti pun menikmati permainan seksual itu meski ia masih menjaga supaya gua garbanya tak lagi ditembus zakar Bari. Ia menjepit zakar Bari dengan pahanya dan membiarkan sperma perjaka itu muncrat di luar atau di perutnya. Bahkan kesudahannya Bari memaksa Surti mengulum zakar tegang itu dan mendapatkan muntahan lahar panas. Mula-mula dimuntahkannya tapi lama-lama justru dinikmati dan ditelannya. Ibu dan anak ini kesudahannya saling mencar ilmu memuasi dan dipuasi. Tak tahan, Surti mulai mengajari Bari memuasi dirinya pakai tangan dan kesudahannya pakai lidah. Bari yang semula jijik, lama-lama terbiasa juga menjilati lubang sempit bergelambir milik Surti. Biji kelentit dan tempat G-spot merupakan kenikmatan tersendiri bagi Surti. Sampai ia kadang orgasme. Mereka berdua kemudian malah setiap malam tidur telanjang berpelukan, dan kesudahannya Surti juga mengizinkan Bari menancapkan zakar ke vaginanya. Bari sudah cukup bisa menahan diri untuk tidak mengeluarkan sperma di dalam vagina Surti sehabis diberitahu kemungkinan kehamilan bila spermanya masuk ke rahim. Ya, selama beberapa minggu, tanpa sepengetahuan siapapun, mereka bagai dua pengantin gres yang asyik dilanda nafsu. Berpacu mengumbar birahi, tak peduli merupakan kekerabatan incest. Bari yang masih muda begitu semangat dengan acara seksual mereka sementara Surti yang sudah usang tidak mencicipi belaian laki-laki ingin kerinduannya dipuasi. Nafsunya belum padam. Berbagai gaya mereka lakukan, dari yang konvensional hingga gaya anjing kimpoi, 69, sambil duduk berhadapan atau Surti di pangkuan Bari dan seterusnya. Pokoknya nikmat dan uenaak tenaanSampai di suatu pagi sekitar jam 6 pagi Surti merasa tubuhnya sedang digerayangi Bari, padahal ia merasa masih sangat mengantuk sehabis semalaman bertempur seru hingga dini hari. Dibiarkannya Bari merenggangkan pahanya dan untuk kesekian kalinya menelusupkan zakar tegangnya kemudian mulai mengocoknya. Keras, cepat dan semakin cepat menyerupai terburu-buru Bari mengayun pantatnya. Ia ingin menyalurkan nafsunya yang muncul di pagi hari, sementara jam tujuh ia juga harus masuk sekolah. Genjotan Bari yang sedemikian keras lambat laun juga merangsang Surti menggapai nikmat di pagi itu. Sayangnya selagi Surti gres mencapai tahap pemanasan, mendadak tubuh Bari sudah terkejang-kejang kemudian buru-buru ia mencabut penisnya dari lubang nikmat ibunya serta merta menyemprotkan sperma dengan deras ke perut ibunya. Disusul mengoser-oserkan zakar tegang itu ke seluruh dada hingga berakhir di jepitan tetek Surti. Vagina Surti masih berdenyut-denyut ingin dipuasi ketika Bari sudah meloncat keluar kamar untuk bersiap ke sekolah. Tinggallah Surti sendiri kecewa sambil mengelus-elus vagina dan meremasi teteknya sendiri. Nafsunya belum tuntas! Bari egois, hanya mau memuasi dirinya saja, tak peduli ibunya kelojotan menahan nafsu. Baru sekitar jam tujuh pagi Surti bangun mengelap noda-noda di tubuh dengan CD-nya kemudian mengenakan dasternya dan merapikan ranjang yang hampir tiap hari harus ganti sprei sebab penuh bercak sperma dan mani mereka. Dibawanya sprei dan pakaian kotor ke tempat cucian, direndamnya dan ditaburi deterjen bubuk. Terdengar ada yang sedang mandi, niscaya Banu pikir Surti. Banu, abang Bari, termasuk rajin cari embel-embel penghasilan. Meski kadang pulang dengan tangan hampa tapi ia selalu rajin bangun pagi, mandi kemudian pergi entah kemana. Cari obyekan, katanya setiap ditanya. Pintu kamar mandi terbuka, Banu muncul. "Mau kemana Nu?" tanya Surti. "Cari motor, Bu. Kemarin ada sahabat cari motor bekas yang murah-murahan. Moga-moga motor Pak Panut belum dijual." "Rumah Pak Panut agak masuk ke desa kan?" "Iya, Bu, saya tahu. Paling nanti hingga sore gres pulang" Sementara Surti menjemur pakaian, terdengar Banu pamit mau pergi. "Saya pergi ya, Bu!" serunya. "Ati-ati ya Eh, Basuki dimana?" "Biasa, belum bangun, Bu" jawab Banu sambil keluar rumah. Pintu rumah ditutupnya. Selesai menjemur pakaian, Surti kemudian mandi, dicucinya sekalian daster yang dipakainya. Seusai mandi ia hanya berbalut handuk menutupi payudara hingga pahanya, menjemur pakaiannya. Melangkah masuk ke rumah, dilihatnya Basuki duduk bersarung dan telanjang dada di dingklik makan, melamun. Pandangannya kosong. Surti kasihan juga melihat sulungnya yang 25 tahun itu tak juga kunjung bekerja lagi. "Sudahlah Bas, jangan melamun terus" bujuk Surti sambil mengambilkan segelas teh. Diangsurkannya teh itu kepada Basuki, kemudian dijangkaunya kepala Basuki dan dielus-elusnya menyerupai kebiasaannya waktu kecil dulu. Basuki memejamkan mata dan mendadak tubuhnya menyerupai menggigil. "Kamu kenapa Bas?" tanya Surti heran melihat putranya. Dan lebih terkejut lagi ketika tiba-tiba Basuki bangun dan berbalik memeluki dirinya menyerupai orang kesetanan. "Bu.. tolong aku.. Bu" desisnya menciptakan Surti tambah panik. "Bas, Bas! Kamu kenapa?" Surti gundah dan berusaha melepaskan diri. Tapi tenaga dan tubuhnya yang hanya setinggi pundak Basuki tak bisa menahan ketika perlahan namun niscaya Basuki mendorongnya ke kamar. Bahkan pergulatan mereka serta ukiran dengan kulit dada Basuki menciptakan handuknya terlepas dan sarung Basuki melorot. Surti geragapan ketika tubuh bugilnya diangkat Basuki ke atas ranjang dan digeluti. "Bas! Bas! Gila kamu.. ini saya ibumu!" Surti terus berontak sambil mendorong dan memukuli. Namun Basuki terus menggelutinya. "Bu tolong Bu, saya pingin sekali saya butuh." dan sadarlah Surti bahwa ketika itu Basuki sedang dilanda birahi. Ia niscaya pernah mencicipi tubuh perempuan dan sekarang, sehabis usang puasa, butuh penyaluran. "Apakah saya harus memenuhi hasratnya?" pikir Surti cepat. "Bas Bas jangan Ibu kau jadikan pelampiasan Ugh" Surti tak merampungkan kata-katanya sebab putingnya dihisap keras sementara tangan Basuki menggosok-gosok dan memasukkan jemari ke vaginanya dengan ganas. Mengaduk-aduknya. Surti tergerinjal, nafsunya yang tadi belum dituntaskan Bari kembali bangkit. "Ah, kenapa lagi-lagi saya dinodai anakku?" jerit hati Surti. Tenaganya melemah. "Bas egh jangan Bas," lemah bunyi Surti ketika melihat zakar Basuki tegang panjang memerah dengan urat-urat kehitaman di sekelilingnya. "Aku tidak tahan lagi, Bu" Basuki menempatkan pantatnya di antara paha Surti, mengarahkan pedang tumpulnya ke lubang nikmat ibunya lalu. "Sleepp sleep bless bless" Surti hingga terangkat pantatnya ketika zakar panjang nan tegar milik Basuki mencapai rahimnya dan menyentuh-nyentuh pusat kenikmatannya. Kemudian dengan cepat menusuk-nusuk dan memompanya bertubi-tubi. "Shh shh sudah Bas.. cukup stop Ibu nggak tahan" bibir Surti bergumam menolak tapi entah kenapa tangannya justru merangkul erat leher Basuki dan membuka pahanya semakin lebar. Basuki tak peduli, terus bergoyang dan bergerak naik turun. "Hshh hshh cukup Bas jangan kau keluarkan spermamu di dalam Ibu bisa hamil" Surti semakin terhanyut oleh gerakan Basuki yang jauh lebih lihai dibanding Bari. Tanpa sadar ia mulai mengimbangi dengan putaran pantatnya Basuki sendiri menyerupai tak mendengar bunyi Surti dan benar saja beberapa menit kemudian, dengan zakar tetap menancap, tubuhnya mulai terkejang-kejang berkejat-kejat kemudian "croott croott.." bersamaan dengan tekanan pantat ke vagina ibunya sekeras-kerasnya muncratlah sperma membanjiri rahim Surti. Gilanya Surti justru menggapitkan pahanya erat-erat ke pantat Basuki serta memeluk punggungnya erat-erat dan maninya pun mengalir deras. Basuki ejakulasi. Surti orgasme. Bareng. Sejurus kemudian dua tubuh layu yang berpelukan erat itu saling melepaskan diri. Terjelepak kelelahan, terbaring telentang. Dada mereka naik turun ngos-ngosan. Masing-masing dengan pikiran melayang-layang. Basuki dengan kesadaran sudah menyetubuhi Ibu kandungnya dengan nafsu sebagaimana ia dulu sering salurkan ke perempuan bayaran. Sementara Surti sadar bahwa lagi-lagi ia telah bersetubuh dengan anak kandungnya. Lagi-lagi ia jadi pelampiasan nafsu anaknya. Tapi bukankah ia juga ikut menikmati lampiasan nafsu itu? Malah menyerupai membuka pintu kesempatan untuk terjadinya seks incest itu? "Kamu sudah puas, Bas?" tanya Surti berusaha tegar, "kalau belum cepat lampiaskan lagi hasratmu ke tubuh Ibumu ini biar tuntas sekalian biar kau tidak melamun yang tidak-tidak lagi" entah keberanian dari mana Surti mengucapkan tantangan ini. Tentu saja Basuki terkejut. Perlahan ia memiringkan tubuhnya dan dipandanginya wajah perempuan setengah baya yang ialah Ibu kandungnya itu. Wanita yang tubuhnya bugil telentang itu matanya terpejam. Mengingatkan Basuki pada seorang perempuan sebaya yang dulu pertama kali merenggut perjakanya di rantau. Ya, Basuki ingat benar bagaimana ia melepas perjakanya di atas tubuh istri majikannya yang kesepian sebab sering ditinggal suaminya pergi bisnis. Beberapa bulan mereka berhubungan. Dan entah kenapa semenjak itu Basuki selalu menyukai bekerjasama tubuh dengan perempuan yang lebih tua, baik perempuan bayaran atau yang sekedar cari sahabat bersebadan. Kini, sehabis berbulan-bulan puasa, Basuki tak tahan untuk meletupkan hasrat syahwatnya. Untuk mencari perempuan bayaran ia tak lagi punya modal, untuk mencari istri-istri kesepian tak lagi semudah di kota besar dulu. Akhirnya belakang layar ia memendam hasrat nafsu pada Surti, yang semula ditahan-tahannya sebab bagaimanapun beliau ialah Ibu kandungnya. Namun bendungan itu jebol pagi ini ketika nafsu telah merasuk hingga di ubun-ubun Basuki dan kesempatan terbuka manakala rumah sepi dan Surti menyerupai menantangnya dengan hanya berbalut handuk. Sama menyerupai perempuan yang dulu memperjakainya juga hanya berbalut handuk ketika menyeretnya ke ranjang nikmat. Demi mendengar tantangan ibunya, percaya nggak percaya Basuki mendekatkan wajah ke muka Surti. Namun mata Surti terus terpejam, seolah menanti agresi Basuki selanjutnya. Pandangan Basuki menyapu seluruh wajah kemudian menurun ke payudara semok meski agak kendor, perut yang masih langsing kemudian bukit rimbun di bawahnya yang masih tersisa lengket cairan mereka tadi. Antara sadar dan tidak Basuki menggerayangkan tangan ke sekujur tubuh ibunya. Tubuh Surti jadi merinding. Digigitnya bibir bawah, coba bertahan dari rangsangan itu. Namun sulit sekali, terlebih manakala Basuki dengan piawainya mulai menggunakan lidahnya menggantikan tangan. Seperti lintah, pengecap itu bergerak menelusuri wajah, leher, payudara, perut, pusar hingga kesudahannya bermuara di kerimbunan semak-semak lebat Surti. Dikangkangkannya paha Surti lalu. dengan ganas pengecap Basuki menyapu, menelusup dan menjilat-jilat liar lubang nikmat Surti. Menimbulkan rangsangan andal yang menciptakan Surti refleks memegang kepala Basuki dan menekannya seolah ingin memasukkan seluruhnya ke lubang vaginanya. Sekejap saja Surti telah orgasme dan sekejap itu pula Basuki membersihkan seluruh mani yang keluar dengan lidahnya, diminumnya. Lalu pengecap itu terus mengerjai vagina Surti, kadang kasar kadang halus. Sampai beberapa menit kemudian Surti kembali harus mengejan berkejat-kejat mengeluarkan maninya lagi. Orgasme lagi. Lagi dan lagi Entah sudah berapa kali Surti kelojotan orgasme tapi Basuki tetap segar menggarap lubang nikmat itu dengan lidahnya. "Agh.. am.. ampun Bas cukup Ibu tak tahan lagi Ibu lemes banget" desis Surti sambil terus meremasi rambut kepala Basuki sehabis orgasmenya yang ketujuh atau delapan. Tulangnya menyerupai dilolosi. Sementara pengecap Basuki masih mempermainkan klitnya, menggigit-gigit kecil, menarik-nariknya. Ibu dan anak sudah tak ingat lagi kekerabatan darah di antara mereka. Yang penting gejolak nafsu terpenuhi. Surti tak bisa menggerakkan tubuh lagi ketika Basuki merayapi tubuhnya kemudian sekali lagi menancapkan zakar tegarnya ke lubang vagina Surti menggantikan lidahnya. "Jangan keras-keras, Bas" pinta Surti yang merasa ngilu di vaginanya. Rupanya Basuki tahu itu dan ia menggerakkan pantatnya dengan santai, tidak tergesa-gesa. Justru kini ia lebih mementingkan pagutan bibir dan lidahnya memasuki lisan Surti. Saling belit, saling sedot, sambil tangannya meremas-remas gundukan gunung kembar Surti hingga puting itu jadi keras. Sampai berjam-jam lamanya Basuki memperlakukan ibunya menyerupai itu tanpa sekalipun ia ejakulasi. Sementara Surti entah sudah berapa belas kali orgasme, rasanya habis seluruh maninya. Setelah hampir tiga jam, Basuki berbisik, "Ak saya mau keluar, Bu" "Jangan di dalam, Bas Ibu bisa hamil" "Keluar di luar tidak enak, Bu" Basuki meneruskan genjotannya. Cepat, cepat dan semakin cepat. Surti ikut terlonjak-lonjak mengikuti irama tarikan zakar Basuki. Tak bisa menolak kemauannya hingga kesudahannya Basuki kejang-kejang sambil menyemprotkan sperma berliter-liter. "Creett.. Cruutt.." belasan kali bagai air bah. Lalu tubuh kekar itu diam menelungkupi Surti tanpa mengeluarkan zakarnya dari vagina. Denyut-denyutnya masih dirasakan Surti. Gila benar ini anak bisa tahan sedemikian lama. Kelelahan menciptakan mereka tidur berpelukan. Surti tak ingat lagi untuk pergi ke pasar. Sudah terlalu siang sehabis empat jam pergumulan tadi. Justru yang terbayang kini ialah insiden yang bakal dilaluinya di hari-hari berikut, yakni harus melayani kebutuhan seks si sulung dan bungsu bergantian. Si bungsu di malam hari, dan si sulung di siang hari. Mereka dihentikan saling tahu. Namun, bagaimana dengan Banu, anak kedua. Apakah ia juga akan minta jatah untuk menyetubuhinya? Kuatkah Surti menghadapi tiga "pejantan" ini setiap hari? Bagaimana kalau suatu ketika ia digarap mereka bertiga ramai-ramai? Atau sepanjang hari digilir mereka? Surti tak bisa membayangkan itu semua.

0 Response to "Surti Janda Binal Penuh Birahi"

Posting Komentar