Ranjang Yang Ternoda


Kamar VIP tempat Hendra dirawat mulai terlihat membosankan bagi Alya, beliau ingin segera pulang dan membawa suaminya meninggalkan kamar rumah sakit yang berbau obat ini untuk kembali menjalani hidup bersama di rumah sendiri. Ibu muda yang bagus itu duduk termenung di samping jendela kamar sambil melamun, pandangannya tak berpindah dari halaman rumah sakit yang asri dan dipenuhi pepohonan menghijau, walaupun hari sudah gelap tapi pemandangan taman tetap terlihat lantaran nyala jelas lampu hias di taman. Malam mulai menggelayut dan gelap menyelimuti hari. Pandangan Alya beralih dari satu lampu ke lampu yang lain, sesudah bosan ia beralih memperhatikan pepohonan tinggi yang menunduk seakan tertidur lelap di tengah malam yang sunyi. Pikiran Alya termenung lebih jauh lagi, ibarat apa kehidupan mereka selanjutnya dengan keadaan Mas Hendra yang ibarat ini? Separuh tubuhnya sudah lumpuh, masa penyembuhannya akan berlangsung lama, belum lagi efek psikisnya pada Mas Hendra dan keluarga mereka. Pekerjaan Mas Hendra memang masih bisa dikerjakan dari rumah melalui internet bahkan perusahaan Mas Hendra sudah menyampaikan opsi pekerjaan tersebut bisa dikerjakan oleh Mas Hendra selama sakitnya. Mereka tidak akan memecat Hendra, melainkan tetap memperkerjakannya walaupun tetap berada di rumah lantaran kemampuan Hendra memang tidak ada duanya dan beliau sangat diperlukan untuk tetap bekerja. Walaupun begitu, akan tetap butuh waktu bagi mereka semua untuk menyesuaikan diri. Alya menatap keluar halaman dengan pandangan yang makin mengabur. Bagaimana dengan beliau sendiri? Kuatkah beliau menghadapi semua problem demi problem yang makin usang makin besar dan meremukkan seluruh jiwaraganya? Kuatkah beliau untuk terus berada di samping suaminya sementara hidupnya terus berada di bawah bahaya laki-laki renta busuk ibarat Bejo Suharso? Keluhan pelan keluar dari verbal Alya, perempuan bagus itu hanya bisa berharap ini semua segera berakhir. Terdengar ketukan pelan dari pintu, Alya melirik ke jam dinding, siapa gerangan yang mengetuk jam segini? Jam bezuk sudah lewat dan Alya tidak menunggu siapapun termasuk Dodit, Anis ataupun Lidya sementara Opi sudah dititipkan pada Bu Bejo. Siapa yang malam ini datang? Susterkah? Jarang sekali suster masuk ke dalam ruangan jam segini, biasanya mereka tiba hampir tengah malam. “Halo… halo… kau sendirian ya sayang? Bagus! Ayo kita bersenang-senang!” Alya hampir menjerit ketika sosok gemuk Bejo Suharso masuk ke dalam kamar sambil menyeringai. Dengan dukungan tangannya sendiri, Alya membekap verbal supaya tidak menjerit dan mengakibatkan kegaduhan. Pak Bejo tiba seorang diri, laki-laki renta itu bahkan dengan berani menggeser dingklik yang ada untuk memalang pintu kamar, siapapun yang hendak masuk akan kesulitan membuka pintu kecuali dingklik itu disingkirkan. Alya meringkuk ketakutan di pojok ruangan. Berulang kali perempuan bagus itu melirik ke arah suaminya yang masih lelap. Kepada siapa Alya harus minta pertolongan? Keringat deras mengalir di dahinya. “Ayo… ayo… tidak usah takut. Ini aku, sayang. Kekasihmu tercinta.” Bejo berjalan tegap ke arah istri Hendra yang pucat pasi dan ketakutan, kangen sekali rasanya beliau pada si montok ini. Alya menggeleng. “Jangan mendekat! Jangan mendekat!!” Alya bangun dan mencoba melarikan diri, tapi tangan besar Pak Bejo lebih cekatan dari gerakan Alya yang panik. Dengan satu sentakan, Alya dilempar kembali ke pembaringan di samping tempat tidur Hendra yang masih terlelap. Di kamar VIP itu, memang disediakan satu pembaringan untuk tamu penunggu pasien. “Jika kau mau semua ini berakhir, diam dan layani aku.” bisik Pak Bejo mengancam. Lidya tidak bisa tidur malam ini, ketika makan malam tadi Andi menyampaikan jikalau beliau harus pergi lagi selama seminggu ke luar kota. Suaminya itu menyampaikan jikalau ternyata ada beberapa pekerjaan kantor yang belum tuntas diselesaikan ketika beliau ke dinas di sana seminggu yang lalu. Karena pekerjaan itu sifatnya mendesak, besok Andi harus segera terbang lagi kesana dan membereskannya. Sebenarnya bukan perpisahan selama seminggu dengan Andi yang membebani batin Lidya, melainkan rasa takutnya kembali berdua saja dengan ayah mertuanya yang cabul. Pantas saja Pak Hasan memaksa Lidya menjadi budaknya seminggu ini, ternyata mertuanya itu sudah lebih dahulu tahu jikalau Andi akan pergi dinas lagi selama seminggu. Membayangkan senyum ejekan menggaris di bibir Pak Hasan, ingin rasanya Lidya menamparnya. Menjijikkan sekali! Orang yang tadinya dianut sebagai pengganti orang tua, malah menjebloskannya ke lembah hina. “Mass…,” Lidya menggelayut manja di bahu suaminya yang gres saja naik ke ranjang. “Apa perginya tidak bisa ditunda? Mas Andi kan gres saja pulang, belum hingga seminggu di rumah sudah pergi lagi.” “Maaf sayang, tidak bisa, saya tetap harus pergi besok. Kamu tahu sendiri kan ini sudah masuk aktivitas rutin selesai tahun anggaran, pekerjaan di tempat menumpuk sementara sahabat kerjaku malah cuti lantaran istrinya melahirkan, tidak ada orang lain lagi selain saya yang bisa mengerjakannya, padahal rencananya bulan depan bos besar akan tiba dari Singapore, reportnya harus segera selesai dalam ahad ini.” bisik Andi yang sudah mulai memejamkan mata, beliau lelah sekali hari ini. “Terus saya bagaimana?” desah Lidya lagi. “Kamu bagaimana gimana? Kamu ya di rumah aja, saya kan cuma seminggu, nggak lama, lagi pula ada Bapak di rumah. Dia bisa menemani kau selama saya pergi, kau tidak perlu takut kesepian, jikalau butuh jalan-jalan tolong temani Bapak keliling-keliling cari kontrakan baru. Siapa tahu bapak bosan di rumah terus.” Lidya merengut, jikalau diberi kesempatan dan diperbolehkan, beliau justru ingin menghajar mertuanya yang dengan biadab telah memperkosa dan mempermalukannya itu, tapi Lidya tentu saja mustahil melakukannya. “Aku kan masih kangen,” rayu Lidya manja sambil menciumi belahan belakang leher suaminya. “baru beberapa hari kau di rumah… malam ini… kamu… kita…” Andi yang tertidur sambil membelakangi Lidya geli diciumi oleh istrinya, diapun membalikkan badan. “Aduh sayang, jangan kini ya… saya capek sekali.” Setelah mendorong Lidya supaya menjauh sedikit, Andi kembali berbalik dan terlelap. Lidya mencibir dengan kesal. “Apa mau Pak Bejo?” tanya Alya geram. Dia menyimpan kekhawatiran pada tatapan mesum lelaki renta itu. “Buka resleting celanaku!” perintah Pak Bejo. “Sinting! Gila! Pak Bejo pikir ini dimana? Ini rumah sakit! Bagaimana nanti jikalau ada orang masuk?” Alya mengeluarkan keringat hambar lantaran tegang. “Lagipula saya tidak mau melakukannya di depan Mas Hendra!!” tambah Alya. Si bagus itu mencoba mengelak dengan segala cara namun pergelangan tangannya dipegang erat oleh Pak Bejo. Alya buru-buru mencari cara lain untuk meloloskan diri dari situasi gawat ini. “Aku akan layani Pak Bejo jikalau kita sudah hingga rumah nanti! Tidak di sini, tidak sekarang! Pokoknya saya tidak mau!” “Aku tidak peduli. Kamu pikir selama ini saya tidak mengamati kegiatan di rumah sakit ini? Aku lebih pintar dari yang kau kira, sayang. Suster tidak akan tiba ke kamar ini dalam waktu seperempat jam ke depan dan kini bukan jam bezuk, jadi tidak akan ada orang lain di sini kecuali kita berdua, Mbak Alyaku yang bagus jelita.” Pak Bejo terkekeh digdaya, “Coba lihat suamimu itu. Kasihan sekali kan jikalau hingga arah infusnya berbalik? Darahnya akan tersedot ke atas… hehehe. Kau sadar tidak, gampang sekali jikalau saya ingin menyakiti orang-orang yang kau cintai kapanpun saya mau. Kalau tidak ingin Mas Hendra kucelakai hingga mampus di tempat ini juga, sebaiknya kau segera buka resleting celanaku dan sedot kontolku hingga saya puas!” Alya menatap Pak Bejo tak percaya, ia memutar otak mencoba mencari jalan keluar dari situasi yang sedang ia hadapi, tapi memang tidak ada jalan lain yang kondusif baginya kecuali melayani kemauan bajingan renta ini. Keselamatan Mas Hendra lebih penting dari martabatnya yang sudah tak ada harganya lagi. Alya karenanya menurut, ia jongkok ke bawah, membuka kancing kemudian menarik turun kait resleting celana Pak Bejo. Setelah dibuka, Alya menarik turun celana panjang berikut celana dalam yang dikenakan oleh laki-laki renta itu hingga ke betis. Kemaluan Pak Bejo yang besar dan panjang meloncat keluar dari celana dalam yang ia kenakan dan menampar pipi mulus Alya. Ingin sekali rasanya Alya menendang kantung kemaluan Pak Bejo dan melarikan diri dari ruangan ini, tapi melihat Hendra yang lelap tak berdaya Alya tahu ia harus tunduk dan menuruti semua kemauan Pak Bejo. laki-laki renta itu menjambak rambut Alya dan menariknya ke belakang, wajah Alya menengadah ke atas dan bertatapan mata pribadi dengan mata jalang Pak Bejo. Wajah takluk Alya menciptakan Pak Bejo tersenyum puas. Dengan jari-jari nakalnya, laki-laki renta itu memainkan rambut indah Alya kemudian dengan bergairah beliau mendorong wajah Alya mendekati kemaluannya. “Sedot.” Bisik Pak Bejo, suaranya pelan namun tegas. Alya tahu, beliau harus segera melayani kemauan Pak Bejo ketika ini juga atau laki-laki renta yang jahat itu akan menghajarnya ibarat beberapa waktu yang lalu. Pak Bejo memang tidak berperasaan, beliau menyuruh Alya mengoral kemaluannya sempurna di hadapan sang suami yang masih lelap, belum lagi jikalau ada suster yang datang. Benar-benar nekat orang renta tak tahu aib ini. Mereka berada cukup bersahabat dengan ranjang penunggu pasien tempat Alya biasa tidur menemani Hendra. “Kamu mau tertangkap tangan orang? Mumpung sepi, cepat sedot.” Gertak Pak Bejo sekali lagi. Alya melirik ke arah Hendra yang masih terlelap, kemudian menatap sengit mata Pak Bejo. Alya mencondongkan tubuh ke depan dan membuka mulutnya perlahan. Si bagus itu menelan batang kemaluan Pak Bejo dan memainkan pengecap di sekitar ujung gundulnya. Alya memegang kontol Pak Bejo dengan lembut dan mengocoknya perlahan. Si bagus itu mendorong Pak Bejo supaya tidur terlentang di ranjang penunggu pasien dan ia mulai menjilati seluruh batang kemaluan lelaki renta itu, mulai dari kantungnya, kemudian batang, hingga ke atas. Jilatan pengecap Alya menciptakan Pak Bejo terangsang dan belingsatan, yummy sekali rasanya. Nafas Pak Bejo kian berat, ia sangat menyukai perasaan berkuasa ibarat ini. Ia merasa ibarat seorang raja yang sedang dilayani oleh selirnya. Saat ini laki-laki renta itu tahu apapun yang ia perintahkan niscaya akan dilaksanakan ibu muda yang seksi itu. Membayangkan perempuan secantik Alya melaksanakan hal-hal yang memalukan menciptakan Pak Bejo terangsang. Kontolnya pribadi ngaceng, bahkan akan meledak mengeluarkan air mani seandainya tidak ditahan-tahannya. Lama kelamaan, seluruh batang pelir Pak Bejo sudah tertelan oleh Alya, kepalanya naik turun bersama gerakan mulutnya mengocok kemaluan sang lelaki renta dari ujung gundul hingga kantung kemaluan. Pak Bejo memiringkan kepala Alya dan menyibakkan rambut yang menutup wajah cantiknya. Ia ingin melihat pribadi kontolnya keluar masuk bibir mungil perempuan secantik Alya, pemandangan indah itu membuatnya semakin terangsang. Benar saja, hanya beberapa detik melihat Alya mengoral kemaluannya, Pak Bejo sudah siap mencapai klimaks. Pria renta itu mengencangkan cengkramannya pada rambut Alya dan menggerakkan kepala perempuan jelita itu seraya memompakan penisnya ke dalam verbal Alya. Si bagus itu memberontak sesaat, tapi tatapan galak Pak Bejo meluruhkan niatnya, nyali Alya menciut dan Pak Bejo pun membentaknya galak. “Ayo dikulum terus! Kenapa berhenti?” Walau kesal dan jengkel tapi Alya tak melawan sedikitpun. Si bagus itu melumat kontol Pak Bejo seiring gerakan sang laki-laki renta menggiling kemaluannya memasuki tenggorokan Alya dengan gerakan yang sangat cepat sampai-sampai si bagus itu tak sempat menarik nafas. Lama kelamaan sodokannya makin cepat dan pendek sementara nafas Pak Bejo terdengar mendengus-dengus. Alya yakin laki-laki renta itu niscaya akan segera mencapai puncak kenikmatan. “Mainkan kantungku,” lenguh Pak Bejo sambil menggemeretakkan gigi. Pria itu masih terus menyodokkan kemaluannya ke verbal Alya. Begitu jari-jari lembut Alya menyentuh kantung kemaluannya, Pak Bejo tidak besar lengan berkuasa lagi, ia pribadi mencapai titik puncak dengan cepat. Diiringi lenguhan panjang, Pak Bejo menyemprotkan cairan cintanya. Pria renta itu memaksa Alya mendapatkan semua semprotan pejuh dengan mulutnya, tangan Pak Bejo bahkan memegang kepala Alya erat-erat supaya si bagus itu menelan semua semprotan air maninya tanpa ada yang tersisa. “Telan!” desak Pak Bejo melihat Alya enggan mendapatkan air maninya, perintah Pak Bejo terpaksa dituruti oleh ibu muda yang bagus itu lantaran takut dan ia ingin sesegera mungkin mengakhiri sesi oral seks dengan orang renta bejat itu. Merasakan penisnya dikulum dan pejuhnya ditelan mentah-mentah oleh Alya menciptakan Pak Bejo sangat puas. Setelah penis Pak Bejo menembakkan peluru pejuhnya yang terakhir, laki-laki renta itu meringis dan menarik penisnya dari kuluman Alya. Beberapa tetes air mani kental ikut terbawa ketika ia menarik kemaluannya. “Bersihkan kontolku.” Perintah laki-laki renta itu. Dengan hati-hati Alya menjilat dan menelan setiap tetes pejuh yang membasahi kemaluan Pak Bejo. Bibir si bagus itu belepotan air mani sang laki-laki tua, Alya memang sengaja tidak menelan seluruh cairan yang keluar dari kemaluan Pak Bejo lantaran jijik, pejuh putih kental menetes dari sela-sela mulutnya dan jatuh di atas lantai. Pak Bejo menepuk-nepuk kepala Alya dan mengenakan kembali celananya dengan penuh kepuasan. “Memang yummy seponganmu, Mbak Alya,” kata Pak Bejo. “mungkin Mas Hendra bisa sembuh dari lumpuhnya dan bangun dari tempat tidur jikalau kau sepong terus tiap hari.” Sambil tertawa terbahak-bahak Pak Bejo melangkah pergi meninggalkan kamar tempat Hendra dirawat, Alya menatap kepergian orang renta bejat itu dengan penuh kebencian. Beberapa orang suster yang sedang duduk beristirahat di ruang manajemen menatap heran langkah jumawa dan senyum sumringah Pak Bejo meninggalkan bangsal, gres kali ini ada orang yang tertawa terbahak-bahak usai mengunjungi pasien yang sakit parah, keterlaluan sekali orang ini. Sepeninggal Pak Bejo, Alya membersihkan lantai yang berair oleh air mani dengan tissue dan mencuci mulutnya di kamar mandi. Tanpa sepengetahuan Alya yang telah masuk ke kamar mandi, setetes air mata mengalir di pipi Hendra. Andi memasuk-masukkan tasnya ke dalam mobil, bersiap hendak berangkat. Matahari pagi terasa jauh lebih panas dari biasanya, walaupun enggan meninggalkan istrinya yang jelita sendirian di rumah lagi, Andi tetap harus berangkat. “Yakin nih, Mas? Bakal seminggu lagi?” tanya Lidya sambil memendam rasa kecewa. Belum tuntas rasanya ia melepaskan rasa rindu dan mencari proteksi pada suaminya, ternyata kini Andi harus pergi lagi. “Apa nggak bisa dipercepat pulangnya?” “Maunya sih begitu, sayang. Tapi ini kan perintah pribadi dari atasan, saya tidak bisa bilang tidak. Aku coba lihat nanti berapa banyak pekerjaan yang numpuk, jikalau memang bisa pulang lebih awal, saya niscaya pulang.” Andi tersenyum lembut melihat istrinya cemberut, ia tahu Lidya kecewa. Dengan penuh rasa sayang dikecupnya bibir sang istri. “Aku janji, jikalau pulang nanti akan saya bawakan buah tangan makanan kesukaanmu.” Lidya masih tetap cemberut. Tiba-tiba saja Pak Hasan tiba dan dengan santai merangkul bahu Lidya. Wanita bagus itu tentu terkejut sekali, berani-beraninya Pak Hasan merangkulnya di depan Andi! “Jangan khawatir, Bapak niscaya akan menjaga istrimu baik-baik, Ndi.” “Iya, Pak. Untung saja ada Bapak di sini, jadi Lidya tidak akan kesepian.” Kata Andi. Dasar bodoh, amuk batin Lidya, andai saja suaminya itu tahu, jikalau selama ini justru ayahnya yang telah memperlakukan Lidya ibarat seorang pelacur jalanan. Dengan gerakan sesopan mungkin, Lidya menurunkan tangan Pak Hasan yang tadinya merangkul pundaknya. “Aku pergi dulu yah, sayang.” Pamit Andi, “Pak, titip Lidya ya.” “Iya. Hati-hati di jalan.” Pak Hasan menyeringai. Ia sangat senang diberi titipan yang sangat berharga oleh anaknya itu, seorang perempuan jelita yang seksi yang bisa ia tiduri kapan saja ia mau. Lidya terdiam ketika kendaraan beroda empat Andi berangkat meninggalkan rumah. Ketika kendaraan beroda empat itu menghilang dari pandangan, tangan Pak Hasan pribadi beraksi, meremas-remas pantat lingkaran Lidya. Si bagus itu menghardik mertuanya dan melangkah masuk ke rumah dengan sewot. Pak Hasan meringis penuh kemenangan. Dina mengejap-kejapkan matanya yang masih mengantuk. Semalam suntuk ia sulit tidur memikirkan apa yang akan terjadi hari ini. Pak Pram dan Pak Bambang telah menyewakan satu kamar hotel glamor yang semalam ia gunakan untuk beristirahat, tapi Dina tetap tak bisa tidur, ia ingin tahu bagaimana kabar anak-anaknya, bagaimana kabar Alya dan Lidya – adiknya dan bagaimana kabar Anton suaminya. Proposal yang diajukan Pak Bambang ialah pisau bermata ganda yang bisa menciptakan mereka sekeluarga hidup berkecukupan walaupun hidup terpisah tapi juga akan membelenggu hidupnya sebagai istri seorang idiot pewaris kekayaan seorang konglomerat yang sudah sangat tua. Apa yang akan dilakukannya? Langkah kaki Dina terasa berat menyusuri lorong hotel glamor menuju kamar pertemuan yang berada di ujung. Dalam hati kecilnya, Dina merasa dirinya bagaikan seorang narapidana yang hendak dieksekusi mati. Ia memang bersalah, ia sudah bersedia melacurkan diri untuk menyelamatkan kelangsungan hidup keluarga, ia berani menanggung resiko sebagai perempuan jalang yang mau melayani kemauan binal orang-orang renta tak tahu diri. Ia merasa bersalah, alasannya ialah sudah mengkhianati janji janji nikah dengan Mas Anton. Seandainya hari ini Anton memutuskan untuk memberikannya pada Pak Bambang… sepertinya… Dina rela… Wanita bagus itu mengambil tissue dari kantong bajunya dan menghapus airmata yang menetes perlahan membasahi pipi. Beberapa orang penjaga melirik ke arah Dina dengan pandangan meremehkan, bibir mereka tersungging menghina dan merendahkan, menambah pedih sakit di dalam hatinya. Langkah kaki yang terasa berat menciptakan pinggul Dina bergerak pelan, bagi para penjaga, gerakan pantat Dina bagaikan suguhan pertunjukkan yang mengasyikkan, seandainya perempuan ini tidak lagi diinginkan oleh pimpinan mereka, ingin rasanya mereka merasakan tubuhnya yang indah. Pintu besar ruang pertemuan dibuka lebar, beberapa orang menemani Dina masuk ke dalam. Di dalam ruangan, terdapat sebuah meja besar dengan dingklik yang saling berhadapan. Di sisi jauh, Pak Bambang, Pak Pramono, beberapa orang pegawai pemerintah berjabatan tinggi serta beberapa orang asisten sudah sedari tadi menunggu Kedatangannya. Sementara di dingklik yang menghadap ke arah mereka, duduklah suami Dina dengan kepala menunduk tanpa berani diangkat. Dengan wajah lesu Dina duduk di dingklik yang telah disediakan di samping suaminya. Pak Bambang dan Pak Pramono duduk dengan damai sementara asistennya mengeluarkan beberapa lembar berkas dan meletakkannya di hadapan Anton dan Dina. Sepasang suami istri itu tidak saling memandang dan terdiam membisu, perasaan keduanya kacau balau. “Ini ialah berkas-berkas yang perlu ditanda-tangani seandai kalian berdua bersedia mendapatkan penawaran dari Pak Bambang. Dengan menandatangani surat-surat ini, kalian berdua akan resmi bercerai secara sah dan legal.” Kata asisten Pak Bambang. Dina dan Anton menatap tak percaya surat-surat yang berada di hadapan mereka. Bagaimana mungkin Pak Bambang dan Pak Pramono bisa menyediakan surat cerai bagi mereka dalam waktu yang sangat singkat? Anton menatap geram kedua orang renta yang sangat kaya itu dan yakin, surat ini bisa turun tentunya dengan menyogok petugas pemerintah yang mengurusnya. Ada uang ada barang. Bagi orang sekaya Pak Bambang, gampang sekali mendapatkan surat-surat yang diinginkan, apalagi hanya surat cerai bagi kaum menengah sepertinya. Mereka bahkan tidak perlu menghadiri sidang perceraian atau apapun, hanya menandatangani surat-surat ini, janji nikah mereka sudah berakhir. Urusan legalitas dan manajemen sudah ditangani oleh dua pengusaha kaya yang memeras mereka itu, segala sesuatunya benar-benar sudah disiapkan. Tubuh Dina gemetar ketakutan melihat surat-surat di hadapannya sementara Anton membolak-balik kertas dengan geram. Benar-benar sudah lengkap semua yang dibutuhkan, tidak ada celah sedikitpun bagi Anton dan Dina untuk berkelit. “Keputusan kini berada di tangan kalian berdua.” Kata Pak Pram. Anton menatap Dina dengan pandangan duka yang tak terkatakan, Dina menatap suaminya kembali dan menggelengkan kepala. Anton menunduk duka tanpa bisa mengucap kata-kata. Tangannya memegang pena dengan gemetar, Anton bingung, perasaannya bimbang, apa yang harus ia lakukan? Manakah keputusan yang terbaik bagi semuanya?

0 Response to "Ranjang Yang Ternoda"

Posting Komentar